Boeing Company dan NTSB AS Ikut Bantu Penyelidikan Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182

10 Januari 2021, 20:12 WIB
Proses pencarian pesawat Sriwijaya Air. /Pikiran Rakyat/Aldiro Syahrian Lubis

PR CIREBON – Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air tipe 737-500 rute Jakarta-Pontianak, tak hanya menggemparkan publik di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat (AS).

Pasalnya, pesawat Sriwijaya Air tersebut diproduksi oleh Boeing Company yang merupakan salah satu produsen pesawat terbesar dunia, juga kontraktor pertahanan terbesar kedua di dunia.

Oleh karena itu, Boeing Company bersama dengan Badan Keselamatan Transportasi Nasional (NTBS AS) menunjuk penyelidik seniornya untuk membantu penyelidikan.

Baca Juga: Tanggapi Rilis Komnas HAM, Pakar: Tak ada Unlawful Killing pada Kematian Anggota FPI

“Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS telah menunjuk penyelidik senior untuk membantu penyelidikan, tetapi menunggu informasi lebih lanjut sebelum menentukan apakah mereka akan mengirim tim," katanya dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Bloomberg.

“Dibawah perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa, NTSB bersama dengan ahli teknis dari Boeing dan mungkin produsen komponen lain akan berpartisipasi dalam penyelidikan karena jet itu dibuat di AS,” sambungnya.

Dikatakan bahwa Indonesia, memiliki salah satu industri penerbangan dengan pertumbuhan tercepat di dunia sebelum Covid, memiliki catatan keselamatan yang tidak merata dalam hal kecelakaan udara.

Baca Juga: Teknologi Manusia Virtual Produksi LG asal Korea, Ingatkan Drama ‘Im Not A Robot’

Sejarah penerbangannya yang buruk membuat operator dari negara itu dilarang dari Uni Eropa pada 2007 dan hanya pada Juni 2018 larangan penuh itu dicabut.

Pada tahun 1997, Garuda Indonesia Penerbangan 152 jatuh mendekati sebuah bandara di Medan di Sumatera Utara, menewaskan 234 orang.

Penerbangan AirAsia 8501 yang jatuh pada akhir tahun 2014 sedang dalam perjalanan ke Singapura dari Surabaya.

Baca Juga: Update Terkini Pencarian Sriwijaya Air SJ 182: Temuan 5 Jenazah hingga 18 Relawan Diterjunkan

Pada 29 Oktober 2018, Boeing 737 Max yang diterbangkan oleh Lion Air jatuh ke Laut Jawa 13 menit setelah lepas landas, menewaskan 189 penumpang dan awak.

Itu adalah kecelakaan pesawat paling mematikan kedua di Indonesia setelah Garuda Flight 152.

Pandemi virus corona juga telah menjadi penyebab yang mempersulit penerbangan karena pilot tidak mendapatkan cukup kesempatan untuk terbang karena maskapai penerbangan telah melarang penerbangan dan mengurangi operasi karena penurunan permintaan.

Baca Juga: Longsor di Cihanjuang Makan Korban Jiwa, Petugas Pendata Tewas Tertimbun Longsoran

Insiden yang menimpa Sriwijaya Air kemarin juga disebutkan telah memberikan gejolak bagi Boeing Company.

Periode penuh gejolak bagi Boeing, yang hanya pada November 737 Max-nya diizinkan terbang lagi oleh Administrasi Penerbangan Federal AS, mengakhiri landasan terpanjang sebuah pesawat jet dalam sejarah AS.

Sriwijaya Air didirikan pada November 2003. Armadanya terdiri dari keluarga jet Boeing 737 dan ATR 72-600 turboprop.

Baca Juga: Keluarga Kopilot Pesawat Sriwijaya Air Datangi Posko Ante Mortem: Kami Percaya Diego Selamat

Meski utamanya melayani rute domestik, ia terbang internasional ke Penang, Malaysia dan Dili, Timor Leste.

Maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia sempat mengambil alih operasi Sriwijaya dan unitnya NAM Air pada 2018 untuk mempercepat restrukturisasi utang Sriwijaya, termasuk pembebasan iuran kepada unit Garuda.

Jet Boeing yang dimaksud telah dioperasikan oleh Sriwijaya Air sejak 2012, menurut data armada di Planespotters.net, dan sebelumnya digunakan oleh Continental Air Lines dan United Airlines Holdings Inc. ***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: Bloomberg

Tags

Terkini

Terpopuler