Kecelakaan Pesawat Masih Terjadi di Indonesia, Media Asing: Ada Kemajuan Nyata Kualitas Penerbangan

- 12 Januari 2021, 12:30 WIB
Ilustrasi pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Pontianak-Jakarta hilang kontak setelah bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada Sabtu, 9 Januari 2021.
Ilustrasi pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Pontianak-Jakarta hilang kontak setelah bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada Sabtu, 9 Januari 2021. /Instagram.com/@sriwijayaair

PR CIREBON – Musibah jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor pesawat SJ 182 yang terjadi pada Sabtu, 9 Januari 2021 lalu menjadi sorotan banyak pihak, termasuk di luar negeri.

Beberapa media luar negeri menuliskan tentang kecelakaan pesawat yang lumayan sering di Indonesia, menyebabkan Indonesia sebagai negara dengan transportasi udara paling mematikan di dunia.

Media asal Amerika Serikat (AS), Bloomberg, menyoroti kecelakaan tersebut.

Baca Juga: Habib Rizieq jadi Tersangka Kasus Tes Swab, Muannas: Semua karena Dikomporin FZ

Menurutnya, meskipun musibah jatuhnya pesawat masih terjadi, Indonesia telah membuat kemajuan yang nyata dan dramatis dalam keselamatan udara selama dekade terakhir.

“Musibah yang terjadi pada pesawat Sriwijaya Air tak lama setelah lepas landas dari Jakarta adalah yang terbaru dari banyak korban kecelakaan udara di negara yang sejak lama identik dengan rendahnya keselamatan penerbangan,” tulis Bloomberg.

Media tersebut menulis bahwa maskapai penerbangan Indonesia sempat dilarang Uni Eropa, seperti yang terjadi antara 2007 dan 2018.

“Meskipun memang harus lebih berhati-hati tentang penerbangan di Indonesia daripada di banyak negara lain, banyak hal yang telah berubah secara substansial sejak hari-hari ketika penerbangan sangat tidak aman,” tulis Bloomberg, dikutip oleh PikiranRakyat-Cirebon.com.

Baca Juga: Tanggapi Pemalsuan Hasil Tes Covid-19, Bamsoet Sarankan Pemberian Tanda Khusus PCR

Media itu mencatatkan bahwa di seluruh dunia, kecelakaan udara relatif jarang terjadi.

Rata-rata, hanya ada dua hingga empat per satu juta keberangkatan, tingkat yang perlahan-lahan cenderung menurun selama dekade terakhir.

Dulu, Indonesia berada di kelas yang sangat berbeda dari negara lain, yakni pada tahun 2009, terdapat 18,35 kecelakaan per satu juta keberangkatan, dibandingkan dengan rata-rata global 4,11.

Situasi itu, menurut media AS tersebut, sebagian disebabkan deregulasi sektor udara yang sebelumnya dinasionalisasi setelah krisis keuangan Asia dan jatuhnya Soeharto pada akhir 1990-an.

Baca Juga: Haikal Hassan Blokir Akun 'Tukang Lapor', Husin: Cari Alasan Gak Mampu Bayar 1M

“Hasilnya adalah banyak maskapai baru yang dikelola oleh pilot dan insinyur yang kurang terlatih, diawasi oleh regulator dan penyelidik kecelakaan yang tidak efektif,” tulis Bloomberg.

Namun, menurut media tersebut, undang-undang penerbangan yang disahkan pada tahun 2009 untuk membalikkan situasi ini secara bertahap telah mendapatkan hasil.

Misalnya, standar minimum telah ditetapkan untuk pelatihan dan ukuran armada untuk menutup operator yang paling tidak berpengalaman, dan perlindungan pelapor telah disiapkan.

“Hal itu membuahkan hasil. Setelah turun tajam di awal dekade, tingkat kecelakaan berada di bawah rata-rata global pada 2018 dan 2019. Bahkan, angka tersebut lebih rendah daripada di AS dan UE,” Bloomberg menulis.

Baca Juga: Facebook Tak Berencana Cabut Blokir Akun Donald Trump: Bukti Presiden Tak di Atas Kebijakan Kami

Akan tetapi, media itu juga menyoroti hal yang diduga menjadi faktor masih terjadinya kecelakaan transportasi udara di Indonesia.

“Salah satu faktornya adalah bahwa maskapai Indonesia memiliki lebih dari jumlah penerbangan yang wajar, dengan jumlah keberangkatan tahunan terbesar ke-11 secara global.

“Berkat populasi 267 juta, rute domestik kecil terbesar keempat di dunia, dan jumlah yang sangat besar, Indonesia menyumbang sekitar dua kali lebih banyak penerbangan daripada Uni Emirat Arab, atau lebih banyak dari tetangganya Thailand dan Filipina disatukan,” tulisnya.

Bloomberg juga mencatatkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan bergunung-gunung dari sekitar 18.000 pulau di zona tropis, yang berarti hujan deras, kondisi awan yang menyusahkan, dan bahaya lainnya jauh lebih umum.

Baca Juga: Tiongkok Akhirnya Buka Pintu untuk WHO, Selidiki Asal-usul Pandemi Virus Corona

Media itu mencatatkan studi oleh Agus Promono dari School of Aviation di University of New South Wales, yang menemukan bahwa cuaca buruk menjadi faktor penyebab 58 persen kecelakaan di Indonesia, dibandingkan dengan 8 persen di AS dan rata-rata global 21 sampai 26 persen.

“Meskipun begitu, kemajuan Indonesia adalah bukti bahwa tidak ada misteri besar untuk membuat penerbangan lebih aman. Membangun kemajuan yang telah dibuat akan berarti bahwa suatu hari nanti, Indonesia mungkin dapat melepaskan reputasinya sebagai pusat penerbangan berbahaya di dunia,” pungkas Bloomberg.***

Editor: Tita Salsabila

Sumber: Bloomberg


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah