Demi Capai Reformasi, Puluhan Ribu Warga Sudan Serempak Berdemo Tanpa Peduli Protokol Kesehatan

1 Juli 2020, 14:13 WIB
Para pengunjuk rasa berkumpul meskipun ada penguncian virus corona untuk menuntut pemerintahan sipil yang lebih besar dalam transisi menuju demokrasi di Sudan.* /Reuters/Mohamed Nureldin Abdallah/

PR CIREBON - Penduduk Sudan tampaknya tak lagi memedulikan bahaya pandemi yang bisa menghadang di tengah puluhan ribu demonstran yang memadati jalanan negeri.

Ini dikarenakan resesi ekonomi lebih menakutkan daripada Pandemi Covid-19 yang tengah melanda berbagai berbagai negara di dunia.

Secara tepat, aksi demonstrasi yang terjadi di Sudan pada Selasa, 1 Juli 2020 itu untuk menuntut reformasi lebih cepat dan pemerintahan sipil yang lebih besar dalam transisi negara menuju demokrasi.

Baca Juga: Hampir Catat Rekor Tertinggi, Indonesia Justru Alami Penurunan Peringkat Kasus Covid-19 Tingkat Asia

Meskipun, seorang juru bicara pemerintah melaporkan sudah adanya satu korban yang terbunuh dan beberapa lainnya terluka dalam aksi demonstrasi tersebut

Melansir dari situs Reuters, demonstrasi itu berkumpul hanya di tiga titik, Khartoum dan Khartoum Utara, dan Omdurman karena pemerintah sudah menutup jalan dan jembatan yang mengarah ke pusat ibukota.

Pasalnya, aksi demonstrasi ini menjadi yang terbesar sejak pemerintah sementara mengambil alih kekuasaan akhir tahun lalu, selepas penggulingan penguasa Islam Omar al-Bashir setelah tiga dekade.

Baca Juga: Bocorkan Rekaman Rencana Penggulingan Raja Saudi, Aktivis Oposisi Qatar: Dimulai dari Al-Faqih

Namun penduduk Sudah tak hilang akal, faktanya aksi protes serupa terjadi di seluruh negeri, termasuk Kassala di Sudan timur dan di wilayah bergolak Darfur.

Dalam demonstrasi itu, para demonstran serempak meneriakkan 'kebebasan, perdamaian dan keadilan', yang merupakan semboyan gerakan anti-Bashir. Bahkan, beberapa demonstran terlihat memblokir jalan-jalan dengan membakar ban kendaraan.

Lebih dari itu, mereka berbaris untuk menekan para jenderal yang mengambil alih kekuasaan setelah penggulingan Bashir untuk melanjutkan negosiasi atas kesepakatan pembagian kekuasaan secara damai dengan oposisi sipil.

Baca Juga: Sempat Hiatus karena Pandemi, 'Law of the Jungle' Siap Kembali dengan Musim Baru di Korea

Dalam penggulingan Bashir, seorang teknokrat yang kini menjadi Perdana Menteri Abdalla Hamdok, dulu berjuang bersama dengan militer lama membantu menyingkirkan Bashir setelah protes massal terhadap otokrasi 30 tahunnya.

Saat itu, koalisi oposisi sepakat untuk menyatukan pemerintahan dengan militer dalam transisi tiga tahun menuju pemilihan umum yang bebas.

Hanya saja, beberapa bagian penting dari kesepakatan itu belum dilaksanakan, seperti menunjuk gubernur negara bagian sipil dan membentuk parlemen.

Baca Juga: Air Berdisinfektan Jadi Syarat Wajib Pengelola Kolam Renang di Era New Normal

Untuk itu, banyak pengunjuk rasa menyatakan dukungan mereka untuk Hamdok selama demonstrasi. Mereka menyerukan untuk pemerintah transisi agar memenuhi perjanjian.

"Tuntutan Anda dipenuhi dengan perjanjian penuh," ungkap menteri informasi dan juru bicara pemerintah Sudan, Faisal Salih dalam pidato yang disiarkan televisi negeri setempat.

Dalam detailnya, Hamdok berusaha untuk menenangkan warga memastikan keputusan besar akan diumumkan dalam waktu dua minggu.

Baca Juga: Bisa Capai 100 Ribu Kasus Tiap Hari, Peneliti AS: Virus Corona Buat Seluruh Negara dalam Bahaya

Sementara itu, Pemerintahan Hamdok masih disibukkan dengan krisis ekonomi yang memburuk. Terbukti dengan mata uang pound Sudan anjlok dan inflasi tahunan mencapai 100%.

Bahkan pekan lalu, negara-negara asing menjanjikan $ 1,8 miliar (Rp 26,1 Triliun) pada konferensi yang diselenggarakan oleh Jerman untuk membantu Sudan mengatasi krisis ekonomi yang menghambat transisinya.

Namun ternyata, suntikan dana dari asing itu masih jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan dalam sebuah bantuan, termasuk telah diperparah oleh pandemi virus corona.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: REUTERS

Tags

Terkini

Terpopuler