Sambut Hari Pahlawan 2020, Meutia Kenang Perjuangan Bung Karno dan Bung Hatta

- 9 November 2020, 17:27 WIB
Mohammad Hatta dan putrinya, tangkap layar Youtube
Mohammad Hatta dan putrinya, tangkap layar Youtube /Helmy Yahya Bicara

PR CIREBON - Mohammad Hatta (Bung Hatta) itu jika ada konflik dengan Soekarno (Bung Karno), apabila ada pemikiran yang tidak cocok akan menulis surat kepada Bung Karno. Mereka berdua itu pikirannya sama bahwa Indonesia itu harus maju, rakyat harus maju, negara maju tetapi bagaimana caranya berbeda, ungkap Prof. Dr. Meutia Farida Hatta.


"Jadi di sini, misalnya ekonomi seperti itu, apa yang harus dilakukan. Bung Hatta itu kalau tidak setuju, beliau menulis surat kepada Bung Karno, tidak diumbar di media, jadi ini sekadar memberi nasihat kepada teman seperjuangan, tidak banyak orang kecuali mereka berdua dan lingkungan dekat yang tahu, supaya ketidakseimbangan politik tidak terlalu kelihatan," kata Meutia Hatta.
 
Baca Juga: Bersiap Ganti Kepala Gugus Tugas Covid-19 Trump, Vivek Murthy Jadi Pilihan Joe Biden

Meutia menuturkan Bung Hatta tidak pernah menyimpang dari aturan, kalau menegur Bung Karno hanya menulis surat, jadi tidak membuat orang tahu kalau di atas itu ada perbedaan. Perbedaan antara Bung Karno dan Bung Hatta ada pada cara dan prinsip.

"Kalau Bung Hatta mengatakan cara Anda seperti itu tidak bisa dilakukan, karena air dan minyak tidak bisa bersatu. Tetapi Bung Karno yakin, beliau sebagai pemimpin besar revolusi bisa melakukan itu, tapi kenyataannya tidak, akhirnya mereka berpisah. Akhirnya Bung Karno juga tahu bahwa ayah saya betul, bahwa minyak tidak bisa bersatu dengan air," katanya menceritakan saat Bung Karno dan Bung Hatta berpisah jalan di Helmy Yahya Bicara, 3 November 2020.

Meutia mengungkapkan kalau Bung Hatta dan Bung Karno tetap saling menghormati kalau di depan umum, tapi tidak pernah lagi bertemu, apalagi ketika Pak Harto sudah menjadi presiden, saat itu Bung Karno sudah tidak berada di lingkungan kekuasaan, dan Bung Hatta tidak pernah bertemu dengan Bung Karno lagi karena memang posisinya sudah tidak ke luar lagi.

"Dalam mengelola pemerintahan partai-partai politik seperti itu, jadi apa yang bisa bersatu dan apa yang tidak, saya kira tidak boleh memprioritaskan satu partai tertentu, itu juga termasuk perbedaan," katanya.
 
 
Menceritakan hubungan Bung Karno dan Bung Hatta, Meutia mengatakan founding fathers tersebut seperti pelita bangsa. 
 
"Terutama sampai tahun 50-an, mereka betul-betul dua pelita menuju ke terang setelah 1945 merdeka, tetap kemerdekaan tidak mau diakui oleh Belanda sampai 1949, itu kan perjuangan mereka. Bung Karno sangat mendengarkan Bung Hatta karena Bung Hatta itu lebih ke strategi, tetapi politik memisahkan mereka juga," ujarnya.
 
Meutia mengatakan pertemuan terakhir antara Bung Karno dan Bung Hatta terjadi ketika Bung Hatta menjenguk Bung Karno di rumah sakit.

"Yang bisa saya sampaikan, mereka tidak bertemu tetapi ketika Bung Karno sakit berat, ayah saya menulis surat kepada Pak Harto supaya Bung Karno masuk rumah sakit, maka hari itu juga dibawa ke RS Gatot Subroto, karena Bung Hatta mendengar dari teman-teman Bung Karno, bahwa beliau memerlukan perawatan bukan hanya di rumah, tetapi juga harus ke rumah sakit. Kemudian besoknya Bung Hatta meminta izin untuk menjenguk Bung Karno, lalu Pak Harto tidak menjawab suratnya tetapi mengirimkan Sekmil yang waktu Pak Tjokropranolo, yang kemudian menjadi gubernur DKI, di situ pertemuan terakhir Bung Karno dan Bung Hatta," kata Meutia.

"Saya dan adik saya ikut dengan Pak Wangsa Widjaya sekretaris, perpisahan terakhir tidak banyak bicara, cuma tanya apa kabar dalam bahasa Belanda. Bicara seperlunya saja tetapi sambil membelai-belai tangan (Bung Karno)," ucapnya.

 
Meutia menyatakan Bung Karno dan Bung Hatta adalah orang-orang yang tabah. 
 
"Memang mereka berdua orang tabah, Bung Karno memang menitikkan air mata. memang beliau kan terbaring jadi air matanya turun ke bantal, lalu meminta kacamatanya agar bisa melihat Bung Hatta dengan lebih jelas. Dua-duanya orang yang tabah, hati berbicara, syukurlah bisa bertemu pada saat terakhir," kata Meutia.

Lebih lanjut, Meutia mengatakan hubungan antara Bung Hatta dengan Pak Harto itu baik secara lahiriah, namun dibalik itu ada hambatan-hambatan politik, dan ada satu kelompok pendukung Pak Harto, pejabat-pejabat yang dekat dengannya, yang tidak ingin proklamator (Bung Karno dan Bung Hatta) melampaui Pak Harto.
 
"Sehingga ada satu gerakan yang membuat Bung Hatta seolah-olah ingin menjatuhkan Pak Harto, dengan mendorong Sawito untuk menggantikan Pak Harto, itu kan sangat tidak logis," ujarnya.
 

Meutia menuturkan bahwa Bung Hatta berjuang dari umur 19 tahun di Belanda. Dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Youtube Helmy Yahya Bicara.
 
"Waktu itu masih muda mendengar dari senior-senior perhimpunan Indonesia itu,"Kita tidak bisa mendapatkan kemerdekaan dari Belanda, kita harus berjuang,", maka nomor satu perjuangannya adalah negara ini namanya apa, mereka mencari-cari nama termasuk Indonesia, Bung Hatta lalu mencari tahu nama ini digunakan oleh siapa, Prof Logan dan Adolf Bastian," urainya.
 
Akhirnya nama Indonesia diputuskan untuk digunakan sebagai nama negara, karena tidak mungkin menggunakan nama Hindia-Belanda, sebab nama itu yang diberikan untuk jajahan Belanda, kalau hanya Hindia sudah ada India yang dijajah Inggris, jadi digunakan nama Indonesia, sebut Meutia.

"Anak-anak muda itu sering berkumpul, anti-imperialisme, Bung Hatta sering berbicara di mana-mana, di Swiss, di Brussels, dan yang lainnya. Selalu memberi tahu kepada pemuda-pemuda Asia Afrika yang belajar bahwa jangan panggil lagi Hindia-Belanda, kita ini orang Indonesia. Jadi itu perjuangan Bung Hatta di usia 19 sampai 21 tahun itu adalah mempopulerkan nama Indonesia di Eropa," katanya.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Youtube Helmy Yahya Bicara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x