Perpres TNI Tangani Terorisme Tengah Dibahas, Akademisi: Hindari Trauma, Harus Ada Batasan

- 28 Oktober 2020, 14:56 WIB
ILUSTRASI Terorisme.*
ILUSTRASI Terorisme.* //Pixabay/ kalhh

PR CIREBON - DPR RI bersama pemerintah mulai membahas Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Penanganan Terorisme.

Terkait hal tersebut, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI mengharapkan agar pelibatan TNI untuk menangani aksi terorisme dalam Peraturan Presiden (Perpres) dibahas dengan hati-hati.

“Kami menginginkan pelibatan TNI yang proporsional dalam pencegahan, berada di bawah koordinasi BNPT. Intinya kita harus berhati-hati agar tidak memberikan cek kosong yang melanggar Undang-undang,” kata Anggota Fraksi PPP Arsul Sani dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Rabu, 28 Oktober 2020.

Baca Juga: Politikus Nasdem Sesumbar Tangkap Rocky Gerung Jika Jadi Presiden, Refly: Belum Dewasa Berpolitik

Arsul menyatakan bahwa politik hukum Indonesia telah menetapkan terorisme dalam ranah tindak pidana yang berbasis pada sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi.

"Bukan sistem militer atau sistem keamanan internal (homeland security)," ujarnya, dikutip Pikiranrakyat-Cirebon.com dari RRI.

Sementara itu, akademisi Program Studi Hubungan Internasional Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung, menilai bahwa peran TNI dalam kontra-terorisme harus dibatasi.

Baca Juga: Berikut Cara Memelihara Ikan Louhan Agar Tumbuh Sehat dan Maksimal

“Harus ada batasan jelas bagi TNI jika dilibatkan dalam penanganan terorisme. Kami di Papua punya pengalaman yang berbekas dan menimbulkan trauma akibat tindakan aparat yang melampaui batas. Kami mendukung dengan catatan perlu dibatasi, sebagai perbantuan dan bukan kegiatan operasi yang permanen,” jelas Marinus.

Oleh karena itu, lanjut Marinus, pembahasan rancangan Perpres harus terbuka atas masukan dari berbagai pihak, termasuk dari masyarakat Papua.

Menurutnya, operasi TNI yang ditetapkan dengan tidak berhati-hati akan menimbulkan masalah karena doktrin TNI yang 'kill or to be killed' sangat berbeda dengan penegakan hukum oleh aparat kepolisian.

Baca Juga: Ridwan Kamil Keluarkan Surat Edaran ke Seluruh Kepala Daerah se-Jabar, Demi Cegah Efek Libur Panjang

Karena itu, mekanisme pelibatan harus berdasarkan eskalasi ancaman yang melampaui kapasitas kepolisian (beyond police capacity), diputuskan oleh Presiden untuk menguatkan peran otoritas sipil, diatur dengan jelas batasan waktu, dan ruang lingkup perbantuannya.

"Sehingga operasi TNI harus melibatkan satuan organik lokal, karena berdasarkan pengalaman di Papua banyak kekerasan dilakukan oleh non-organik lokal karena mereka tidak memahami pendekatan yang tepat di tengah masyarakat," jelasnya.

Selain itu, aktivis, peneliti dan pendiri MARAPI Consulting-Advisory Beni Sukadis menegaskan perlunya pelibatan TNI untuk konsisten dengan Undang-Undang TNI.

Baca Juga: Belum Cukup Demo Omnibus Law, Siap-siap Buruh Gelar Aksi Penolakan Upah Minimum 2021

"Dan tetap menjaga profesionalitas TNI, disertai dengan pengawasan yang ketat," pungkasnya.***

Editor: Egi Septiadi

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x