Halal Watch Khawatir Soal UU Ciptaker, IHW: Hal ini Melemahkan MUI dan Kementerian Agama

- 8 Oktober 2020, 10:46 WIB
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan (IHW), Ikhsan Abdullah SH saat memberikan keterangan dihadapan pers, Rabu (7/10/2020). Foto: dani PS
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan (IHW), Ikhsan Abdullah SH saat memberikan keterangan dihadapan pers, Rabu (7/10/2020). Foto: dani PS /

PR CIREBON – Omnibus Law menjadi topik perbincangan hangat pada beberapa kalangan masyarakat termasuk salah satunya yaitu Indonesia Halal Watch yang khawatir akan peresmian UU Cipta kerja ini.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah memberi tanggapan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang baru saja disetujui pengesahannya oleh DPR.

Ikhsan Abdullah mengatakan bahwa UU Cipta Kerja atau Omnibus Law berpotensi melemahkan Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama dalam konteks perannya pada Sistem Jaminan Halal.

Baca Juga: Massa Turun ke Jalan Tolak UU Cipta Kerja, Muhammadiyah Tegaskan Demo Tidak Menyelesaikan Masalah

Ikhsan menambahkan, UU cipta Kerja memungkinkan produsen mendeklarasikan sendiri bahwa produknya halal. Dengan begitu, kementerian atau lembaga yang mengurusi sertifikasi halal dapat dikesampingkan dengan mudah.

“Hal yang sangat tidak tepat di dalam ketentuan Omnibus Jaminan Produk Halal adalah ketentuan ‘self declare’ ini adalah sesuatu yang diharamkan Undang-Undnag No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum ada ketentuan Omnibus Law,” ujar Ikhsan, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara.

Menurut dia, Sistem Jaminan Halal semula tergolong ketat dalam memberi sertifikasi halal suatu produk. Tetapi, dengan adanya UU Cipta Kerja justru memungkinkan peluang banyaknya produsen melakukan deklarasi mandiri bahwa produknya halal tanpa melakukan sertifikasi melalui lembaga seperti MUI atau Kementerian Agama.

Baca Juga: Buka Suara Soal PP Turunan Omnibus Law, Tito Karnavian: Paling Lambat Bulan Depan Harus Bisa Selesai

MUI dan Kemenag, Ikhsan mengatakan, sejatinya dapat diberdayakan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada dunia usaha tentang berbagai hal terkait produk halal seperti cara memproduksi barang yang halal.

“Hal ini melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia.

“Karena halal itu mata rantainya dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya. Lalu bagaimana bilal halal hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM?,” ujarnya.

Baca Juga: Demokrat Dituding Jadi Dalang Demonstrasi Buruh, Ossy Dermawan: Ada Bedebah yang Mau Tebar Fitnah

Ikhsan menuturkan tidak semua UKM menggunakan bahan produksi yang termasuk dalam kategori daftar positif seperti bahan alam misal beras, tepung ketela dan sagu.

Akan tetapi banyak UKM yang produknya menggunakan bahan utama dari daging, margarin, room butter, bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi (berpotensi terkontaminasi materi tidak halal) yang masih harus ditelusuri kehalalannya.

“Bila halal hanya dengan melalui ‘self declare’ maka akan menjadi tidak jelas kehalalannya. Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam klaster perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah hukum syariah Islam yang menjadi domain dan kewenangan para ulama,” tuturnya.

Baca Juga: Omnibus Law Tuai Polemik, Tito Karnavian Tegaskan UU Cipta Kerja Permudah Izin Usaha di Daerah

IHW mengatakan pendekatan kehalalan produk bukan hanya didekati dengan ilmu fikih saja melalui deklarasi mandiri kehalalan. Tetapi, kehalalan produk harus menggunakan pendekatan teknologi pangan yang kini sudah tergolong canggih dalam mengecek kandungan hasil produksi.

“Oleh karena itu, tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan Fatwa oleh MUI. Jadi ‘halal self declare’ tidak sejalan dengan maksud-maksud syariah, disamping tidak sesuai prinsip perlindungan konsumen yang menjadi tujuan utama,” ujarnya.

Jika kehalalan hanya menggunakan pendekatan fikih saja, ujar Ikhsan, dapat menjadikan produk tidak jelas riwayat kandungan materinya.***

 

Editor: Nur Annisa

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x