Adapun fatwa dari para sesepuh Alawiyyin, nasab itu dimulai saat hijrah pedagang Arab dari marga Al-Aidid ke Kota Pelembang, sebagaimana dikuatkan sumber-sumber dari media cetak yang terbit dalam kurun waktu 1960.
"Pedagang itu menikah dengan seorang janda penduduk setempat yang telah mempunyai seorang anak bernama Nuh," jelasnya, seperti dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI.
Alkisah, Nuh yang merupakan anak angkat dari saudagar Arab tersebut dan menganggap dirinya sebagai keturunan marga Al-Aidid, tetapi adanya cara penulisan Aidid dari waktu ke waktu, membuat nama Aidid dia sebut berubah menjadi Aidit oleh bahasa setempat.
"Jelasnya huruf D pada akhir kata Aidid diganti dengan huruf T, sehingga namanya menjadi Nuh Aidit. Setelah Nuh Aidit dewasa dia menikah, dan dari pernikahannya lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama ‘Jakfar’," tambah dia.
Baca Juga: Diamanatkan Pimpin Demokrat Jatim, Emil Dardak Optimis Utamakan Tugas Wagub
Hingga akhirnya, setelah Nuh dan istrinya meninggal dunia, Jakfar bin Nuh dibawa ke Jakarta dan diasuh keluarga pamannya (adik ibu). Jauh setelah itu, tepatnya ketika Jakfar bin Nuh dewasa, dia terpengaruh ajaran-ajaran komunis, sehingga menjadikannya bagian dari anggota Partai Komunis Indonesia.
“Selanjutnya dia mengganti namanya dengan Dipa Nusantara Aidit yang kelak merupakan Gembong Komunis di Indonesia," pungkas Habib Zen.***