Menentukan Masa Depan Kepemimpinan Dalam Pendidikan Tinggi

- 29 September 2022, 16:26 WIB
Ilustrasi Prilaku“Quiet Quitting”
Ilustrasi Prilaku“Quiet Quitting” /

 

 

Oleh: Lili Irahali *)

MINGGU  lalu saya menulis gejala “Quiet Quitting” (perilaku “berhenti diam-diam”) yang melanda sebuah perguruan tinggi yang justru merugikan performance dan sustainability perguruan tinggi, juga  karyawan tersebut dalam jangka panjang. 

Hal ini antara lain disebabkan kegagalan komunikasi pimpinan dan lembaga dengan karyawannya. Pimpinan bersikap bias atau terlibat dalam perilaku yang tidak pantas, pengawasan yang kasar.

Perilaku “berhenti diam-diam” karena karyawan mengalami kelelahan emosional. Atau pendeknya “quiet Quitting” terjadi karena perilaku kepemimpinan disfungsional yang berdampak buruk terhadap organisasi secara keseluruhan. Mungkin target jangka pendek tercapai, namun berakibat parah pada iklim, budaya, dan keberlanjutan organisasi.

Baca Juga: Korban Ferdy Sambo : Kombes Pol Murbani Budi Pitono Disanksi Demosi Satu Tahun 

Berdasar kajian Angela J., Xu Raymond Loi, Long W. Lam (Oktober 2015) mengacu pada teori konservasi sumber daya (Conservation of Resources/COR) bahwa perilaku kepemimpinan disfungsional tersebut berdampak destruktif.

COR adalah teori stres yang menggambarkan motivasi yang mendorong manusia untuk mempertahankan sumberdaya mereka saat ini dan untuk mengejar sumberdaya baru (Hobfoll, 1989).

Makna kepemimpinan dalam pendidikan tinggi sesungguhnya adalah bagaimana akademisi mengalami dan memahami diri mereka sendiri sebagai pemimpin dalam konteks pekerjaan mereka di perguruan tinggi yang mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa (peserta didik).

Halaman:

Editor: Otang Fharyana

Sumber: Tulisan Opini


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x