Network
PR CIREBON – Kabar mengenai pengecatan ulang pesawat kepresidenan BBJ 2 menuai polemik di tengah masyarakat.
Bayak pihak tidak setuju atas pengecatan pesawat kepresidenan tersebut, dan melontarkan kritikan kepada pemerintah.
Bagaimana tidak, pengecatan pesawat kepresidenan menelan anggaran mencapai Rp2 miliar.
Baca Juga: 5 Kebiasaan yang Buruk bagi Kesehatan Tubuh, Bahkan Melebihi Efek Negatif Makanan Cepat Saji
Mereka menilai pemerintah tak seharusnya membuang-buang uang untuk melakukan pengecatan pesawat kepresidenan.
Tak sedikit pula yang mempertanyakan urgensi pengecatan pesawat kepresiden di tengah pandemi Covid-19.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng bahkan membandingkan hal itu dengan jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca Juga: Jaksa Pinangki Disebut Belum Dicopot dari PNS, Najwa Shihab: Kita Masih Nombokin Buat Bayar Gajinya
Menurut penuturan Andi Mallarangeng, di era SBY tak pernah ada pengecatan ulang pesawat kepresidenan dan hanya mengandalkan pesawat peninggalan dari Soeharto.
Selama kepemimpinan SBY pun, disebutkan bahwa tidak ada anggaran untuk pengecatan pesawat.
Namun, pernyataan Andi Mallarangeng menuai komentar banyak pihak, salah satunya Ferdinand Hutahaean.
Baca Juga: 5 Bahan Makanan yang Memiliki Manfaat untuk Mencegah Kolesterol Tinggi, Salah Satunya Bawang Putih
Ferdinand Hutahaean menyoroti pernyataan Andi Mallarangeng yang menurutnya salah.
Bagaimana tidak, kata Ferdinand Hutahaean, Indonesia bahkan belum punya pesawat kepresidenan dari era Soeharto hingga tahun 2012.
Ferdinand Hutahaean menilai bahwa pernyataan Andi Mallarangeng itu merupakan ‘pengubahan sejarah’.
Baca Juga: Tekan Penyebaran Covid-19, Tiongkok Batasi Perjalanan ke Luar Negeri
Hal itu diungkapkan Ferdinand Hutahaen melalui keterangan tertulis di akun Twitter pribadinya pada Kamis, 5 Agustus 2021.
“Ini namanya MENGUBAH SEJARAH,” kata mantan kader Partai Demokrat itu, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Twitter @FedinandHaean3.
“Indonesia tak punya pesawat kepresidenan era Soeharto hingga 2012,” lanjutnya.
