Refly Harun: Akhirnya Ditersangkakan Juga, Banyak Misteri dalam Kasus Habib Rizieq

- 11 Desember 2020, 07:32 WIB
Potret ahli hukum tata negara, Refly Harun.
Potret ahli hukum tata negara, Refly Harun. /Instagram/@reflyharun

PR CIREBON - Ahli hukum tata negara Refly Harun menyatakan bahwa akhirnya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, menjadi tersangka juga.

"Kenapa saya mengatakan demikian?" kata Refly Harun, seperti dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari kanal Youtubenya pada Jumat, 11 Desember 2020.

Refly mengatakan bahwa sejak awal apa yang terjadi di Petamburan jika dipandang dalam perspektif hukum sebenarnya bukan kasus yang berat.

 
Dia menyebutnya bukan extraordinary crime, bukan kejahatan yang secara tradisional disebut dengan tindak pidana yang memang merupakan kejahatan yang tidak bisa ditolerir atau diterima di negara manapun.

Seperti misalnya pencurian, perampokan, penjambretan, perkosaan, tindak pidana terorisme, apalagi tindak pidana korupsi.

Tapi menurutnya, ini adalah sebuah pelanggaran yang berkaitan dengan Protokol Kesehatan (Prokes) Covid-19, yang ancaman hukumannya juga tidak banyak yaitu hanya satu tahun dan denda Rp100 juta, dan sesungguhnya ancaman hukum itu lebih pada upaya untuk mendidik.

"Makanya ketika yang dilakukan penyidikan dan penyelidikan itu adalah pelanggaran yang ringan-ringan saja maka sangat aneh kalau kemudian Habib Rizieq dituntut. Tapi kemudian tampaknya Polisi tidak puas," ujar Refly.

 
Dia menambahkan kalau hanya menersangkakan dengan undang-undang Kekarantinaan Kesehatan yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018, dicarilah pasal lain yaitu pasal tentang agitasi, pasal tentang provokasi, pasal tentang melakukan sebuah provokasi, dan orang lain kemudian terkena dampaknya untuk melakukan tindakan-tindakan pidana karena provokasi tersebut.

"Ini menarik, karena seolah-olah ada kesan berlebihan karena pertama Habib Rizieq sendiri sudah minta maaf, ke-2 kalau kita bicara mengenai pidana atau penersangkaan maka sesungguhnya pendekatan hukum pidananya itu ultimum remedium, artinya memang  sudah tidak ada upaya lain kecuali mempidanakan," ucapnya.

Refly melanjutkan kalau melihat masalah protokol kesehatan yang pertama adalah dampak dari kerumunan tersebut, tidak bisa dibuktikan ada klaster terbaru dalam klaster Covid-19, yang menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat sebagaimana Pasal 93.

 
Karena itu dalam Pasa 93 itu ada sebab juga akibat, demikian juga pasal 160 KUHP ada sebab ada akibat.

"Jadi tidak ujug-ujug bahwa ketika kita melakukan provokasi atau dianggap melakukan agitasi tiba-tiba hanya berlaku delik formil saja, tidak, karena putusan MK itu sudah mengubahnya menjadi delik materil, jadi harus ada akibat dari provokasi atau agitasi tersebut," urainya.

Sebagai akibatnya yaitu tindak pidana orang yang melakukan provokasi.

"Sebenarnya tidak terjadi apa-apa, selesai saja, tidak ada orang yang melakukan tindak pidana setelah itu, juga tidak terjadi klaster baru di Petamburan," katanya.

 
Refly menuturkan jika memang terjadi klaster baru, sekali lagi tindakan pidananya adalah ultimum remedium, pendekatan hukum administrasi sudah cukup membayar denda.
 
Karena menurutnya siapa yang mau didenda Rp50 juta atau didenda Rp100 juta, itu bukan jumlah uang dengan nilai yang sedikit.

Apalagi kemudian, diungkapkan Refly, sudah ada itikad baik Habib Rizieq untuk menyetop semua kegiatan ketika berpidato dalam peringatan 212.

Bahkan Habib Rizieq juga mengimbau kepada siapa saja untuk mematuhi protokol kesehatan. 
 
"Masih ditersangkakan juga dan anehnya dikuntit. Penguntitan itu fatal karena memunculkan atau mengakibatkan enam korban jiwa yang sampai sekarang masih diselidiki pihak eksternal dan internal," ujarnya.

 
Tapi yang jelas, Refly menambahkan, informasi yang berkembang adalah mayat-mayat tersebut ditembak berkali-kali bukan satu kali, dan tembakan mengarah ke titik yang mematikan yaitu jantung.
 
"Ditembak dari depan dari belakang dan dari samping, serta jarak dekat, serta ada bekas-bekas penganiayaan," ucapnya.

Refly menilai hal itu menjadi pertanyaan apakah bekas-bekas tersebut menunjukkan tindakan bela diri oleh aparat atau justru sebaliknya sebagaimana yang diklaim oleh pihak FPI, ini adalah sebuah semacam penganiayaan atau pembantaian.

"Kita sedang menunggu, dan saya mendengar ketika video ini dibuat mereka sudah dijemput paksa," katanya.

 
Refly menuturkan hal ini semakin menunjukkan bahwa negara atau penegak hukum atau aparat penegak hukum, tidak lagi menjalankan fungsi pengayoman dan perlindungan masyarakat.

Karena dia menilai, sudah menggunakan instrumen pidana untuk menyelesaikan masalah sewaktu persoalan bisa diselesaikan tanpa harus menggunakan perspektif pidana.
 
Lebih lanjut Refly menjelaskan, dalam konteks ini mempidanakan atau tidak mempidanakan semata-mata sangat tergantung pada penegak hukum, karena fenomena yang sama terjadi juga di tempat lain.

Kerumunan-kerumunan seperti apa yang terjadi di Petamburan juga terjadi di tempat lain, bahkan videonya viral di mana-mana.

"Bahkan dalam Pilkada ketika pendaftaran, ketika kampanye, pernah juga dilakukan oleh anak dan menantu Presiden Jokowi," katanya.

 
Refly mengungkapkan bahwa tidak heran kalau ada gugatan equality before the law.
 
"Karena yang dicari adalah kesalahan-kesalahan yang bisa dipidanakan kepada Habib Rizieq, kesannya begitu, mohon maaf semuanya, mohon maaf kepada aparat penegak hukum," ujarnya.

Menurutnya nanti masyarakat akan sulit melihat adanya perlakuan yang sama, karena tidak mungkin setiap kerumunan akan diperlakukan sama seperti Habib Rizieq, diperlakukan sama dan dipidanakan semuanya.

Karena hal itu bisa jadi membuat penjara penuh, apalagi kemudian ditangkap.

 
Refly menuturkan penangkapan dan penahanan yang mungkin akan dilakukan atau sudah dilakukan kepada Habib Rizieq, yang jelas karena Habib Rizieq dikenakan pasal dalam KUHP yang ancaman hukumannya enam tahun.
 
Maka akan ada alasan justifikasi, legitimasi bagi penyidik untuk menangkap dan melakukan penahanan, dibandingkan kalau hanya menggunakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang ancamannya hanya satu tahun dan denda Rp100 Juta.

"Banyak pertanyaan, banyak misteri dalam kasus Habib Rizieq ini, ada dimensi-dimensi lain dan selalu memunculkan pro kontra di antara para suporter," katanya.

 
Dilanjutkannya, ada yang menjadi suporter Habib Rizieq, ada juga suporter yang barangkali anti Habib Rizieq, lebih pro kepada pemerintah.

"Hukum sepertinya menjadi alat bukan untuk memberikan kenyamanan dan keamanan pada masyarakat, tetapi sepertinya digunakan untuk tujuan yang berbeda dari tujuan utamanya," kata Refly Harun.

***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: YouTube Refly Harun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x