Desak Jokowi Keluarkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja, KRPI: Draf Final Cacat Formil dan Materil

8 Oktober 2020, 08:28 WIB
Ilustrasi Omnibus Law.* /Pikiran-rakyat.com

PR CIREBON – Polemik tentang pengesahan Omnibus Law oleh DPR pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu masih berlanjut. Banyak serikat pekerja dan mahasiswa yang berencana untuk melakukan aksi penolakan tersebut, baik dengan demonstrasi maupun dengan aksi mogok.

Begitu pun dengan Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI), yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. Mereka mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pembatalan pengesahan UU Cipta Kerja.

Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KRPI, Saepul Tavip. Saepul menyebut jika UU Cipta Kerja tersebut tetap disahkan oleh pemerintah maka pihaknya akan melakukan uji materi.

Baca Juga: Demo Besar Soal UU Ciptaker akan Terjadi Hari Ini, Presiden Joko Widodo Tak Ada di Jakarta

"Apabila pemerintah bersikeras mengundangkan peraturan tersebut maka kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Saepul lewat keterangan tertulis pada Rabu, 7 Oktober 2020, seperti dilansir PikiranRayat-Cirebon.com dari Warta Ekonomi, partner sindikasi konten Viva.

Menurut Saepul, selain berdampak pada 79 undang-undang eksisting, penerapan omnibus law juga menuai protes, termasuk pekerja. Hal itu disebabkan pembahasannya tidak membuka ruang publik dalam penyusunan RUU tersebut.

Penolakan dari berbagai pihak bisa diredam dengan janji akan membuka ruang untuk memberi masukan secara terbuka dalam proses pembahasan.

Baca Juga: Penolakan UU Ciptaker Rusuh, Aksi Demo di Bandung Rusak Fasilitas Umum dan Buat Wali Kota Prihatin

"Berbagai usulan masyarakat seperti angin lalu, meskipun argumentasi filosofis, yuridis, maupun sosiologis telah disampaikan berbagai pihak jauh lebih kuat karena bernafaskan konstitusi UUD 1945, ketimbang muatan Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja yang dibuat Pemerintah," ungkap Saepul.

Setara dengan lapisan masyarakat lainnya, KRPI hanya mendapatkan draf yang dikatakan sebagai draf final RUU Cipta Kerja.

"Dan katanya dibagikan ke media oleh salah satu pimpinan Baleg DPR RI. Pertanyaan dasar: dapatkah suatu RUU disahkan sebagai UU tanpa ada draf final?" lanjutnya.

Baca Juga: Wawancara Kursi Kosong Najwa Shihab Disorot Media Korsel: Pertanyaan Pahit, Tapi Tidak Ada Jawaban

Lebih lanjut, Saepul menuturkan jika draf yang dikatakan sebagai draf final RUU Cipta Kerja tersebut sudah beredar benar adanya, maka pertanyaan berikutnya adalah soal klaster ketenagakerjaan.

"Kenapa isi draf final berbeda dengan keputusan rapat panja RUU Cipta Kerja, Minggu, 27 September 2020, di Hotel Swiss Bell Tangerang?" tanyanya.

Saepul menilai ada indikasi sabotase keputusan panja terhadap klaster ketenagakerjaan, misalnya Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing). Putusan Panja adalah kembali ke UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Baca Juga: UU Ciptaker vs UU Ketenagakerjaan: Pahami Beda Aturan Waktu Istirahat dan Cuti bagi Pekerja

Namun, menurut draf final, syarat PKWT maksimal 3 tahun dihapus dan hanya ada sekali perpanjangan PKWT, outsourcing tanpa batasan, berlaku bagi jenis pekerjaan apapun (core dan non core).

"Yang di UU 13/2003 jelas batasannya," lanjutnya.

Menurut Saepul, bunyi pasal tersebut jelas memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja, pekerja semakin rentan dilanggar hak-hak normatifnya, seperti upah minimum, termasuk upah lembur, dan jaminan sosial.

Baca Juga: Masyarakat Geram Soal UU Cipta Kerja, IPO Menilai Jokowi Tak Belajar dari Reaksi Publik saat UU KPK

"Ini salah satu contoh masih yang lainnya soal upah minimum, mekanisme PHK serta kompensasinya, penggunaan TKA, jam kerja lembur dan bahaya lainnya dalam klaster ketenagakerjaan di UU Cilaka," tuturnya.

Saepul menyimpulkan draf final RUU Cipta Kerja yang telah menjadi UU Cipta Kerja terindikasi kuat cacat hukum yaitu cacat formil dan materil. Selain itu, UU tersebut juga bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

"Selain undang-undang tersebut tidak berpihak dan tidak melindungi pada Pekerja/Buruh Indonesia, serta tidak menjamin terciptanya lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia," pungkasnya.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: Warta Ekonomi Viva

Tags

Terkini

Terpopuler