PR CIREBON — Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menyatakan, perlu ada dialektika dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).
Willy Aditya menegaskan, praktik-praktik yang empirisisme dapat dihindari. Sebab menurutnya, empirisisme itu secara konotatif bagai katak dalam tempurung.
Sebagaimana salah tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah menjalankan fungsi legislasi atau menyusun Rancangan Undang-Undang dari sebuah kebijakan yang didasarkan atas aspirasi dan kebutuhan.
Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini, 7 April 2021: Aries, Taurus, dan Gemini, Ada Keberuntungan untuk Karier
Terkini, ‘scientific base’ akan dirujuk menjadi tambahan konsiderannya.
Willy Aditya berharap, dalam proses pembuatan dan penyusunan sebuah Rancangan Undang-Undang, harus menggunakan pendekatan yang lebih maju.
Menurutnya, tidak hanya ‘political will’ dan ‘good will’, penyusunan undang-undang ke depan harus berbasiskan ‘scientific approach’ (pendekatan ilmiah).
Hal itu disampaikannya saat menghadiri Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan Keahlian Setjen DPR RI dengan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, di Ruang Balai Senat Universitas Syiah Kuala, Aceh, Senin 5 April 2021.
“Kan sekarang ada atas nama aspirasi, atas nama kebutuhan, itu penting. Ya! Tapi lebih penting dari itu adalah scientific base,” ungkapnya, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari laman DPR RI, Selasa 6 April 2021.
“Kenapa? Karena dia bisa melihat secara obyektif dan secara proyektif. Itu yg kita butuhkan untuk pembangunan kebijakan-kebijakan kita. DPR ke depan tentu harus scientific base berbasiskan riset,” jelas Willy Aditya.
Adapun langkah untuk melancarkan misinya tersebut, Politisi Fraksi Partai NasDem ini mengakui, di Baleg DPR RI sedang mengupayakan penggunaan riset-riset dari penyusunan RUU ataupun revisi UU.
Dengan harapan, tidak direvisi dalam waktu yang sangat dekat. Untuk itu, masukan-masukan dalam penyusunan undang-undang tidak cukup hanya dari kunjungan kerja, RDPU, ataupun dari aspirasi lainnya.
“Kalau bisa UU ini tidak hanya sebentar. Contohnya UU tentang Pedidikan Kedokteran ini, disahkan tahun 2013, dan kini tahun 2021 akan direvisi. Delapan tahun cuma umurnya. Untuk apa direvisi?” lontarnya.
“Seperti yang lainnya, revisi paling sebatas satu pasal atau satu ayat, itu enggak masalah. Tapi kalau kita mau rombak total, itu harus menjadi evaluasi di kita. Jangan ketika undang-undang ini masih baru, lalu minta direvisi,” urainya lagi.
Willy Aditya menilai, langkah penting bagi kedua belah pihak terkait kerja sama antara Badan Keahlian Setjen DPR RI dengan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Tidak hanya bagi DPR RI saja, namun juga bagi pihak civitas akademika kampus.
“Kalau biasanya link and match itu antara kampus dan dunia industri. Kini, kita harus bangun kampus dengan kebijakan-kebijakan yang strategis baik itu dari pemerintah maupun DPR RI. Itu yang harus kita letakkan link and match-nya,” ujarnya.
Baca Juga: 2 Pria di Jepang Tertukar di Rumah Sakit Saat Bayi, Baru Sadar dan Ketahuan Setelah 60 Tahun Belalu
“Sehingga apa yang menjadi produk kampus atau apa yang akan menjadi produk DPR, didialogkan dan saling support satu sama lain,” imbuhnya.
Dengan begitu, lanjut Willy Aditya, praktik-praktik yang empirisisme dapat dihindari.
“Empirisisme itu kasarnya katak dalam tempurung. Jadi perlu ada dialektika dalam penyusunan RUU. Karena cita-cita kita berbangsa dan bernegara ini kan panjang.
"Kita ingin daya tahan undang-undang kita ini cukup lama. Koreksi-koreksi (revisi) sebaiknya bukan pada hal yang fundamental,” pungkas Willy Aditya.***