Cirebon, Potret Kebinekaan Sesungguhnya

- 5 Februari 2019, 18:13 WIB
WISATAWAN berteduh di bawah Kutagara Wadasan, Keraton Kasepuhan, Sabtu 2 Februari 2019. Motif mega mendung di bagian atas Kutagara Wadasan, menjadi salah satu penanda nyata pengaruh budaya Tiongkok di keraton yang dibangun Sunan Gunungjati, penguasa Kesultanan Cirebon, ratusan tahun yang lalu.*/ANI NUNUNG/PR
WISATAWAN berteduh di bawah Kutagara Wadasan, Keraton Kasepuhan, Sabtu 2 Februari 2019. Motif mega mendung di bagian atas Kutagara Wadasan, menjadi salah satu penanda nyata pengaruh budaya Tiongkok di keraton yang dibangun Sunan Gunungjati, penguasa Kesultanan Cirebon, ratusan tahun yang lalu.*/ANI NUNUNG/PR

”Caruban akar katanya dari campuran. Cirebon merupa­kan melting pot (kuali peleburan), titik temu dan titik campur ber­bagai ragam kebudayaan. Tik hanya lokal seperti Jawa dan Sunda, tetapi juga kebudayaan global, Tiongkok, Arab, India, atau bahkan Eropa se­telah memasuki era kolonial,” tutur Nurdin.

Pada pertemuan itu terjadi peleburan kebudayaan, ada proses asi­milasi dan akulturasi pada dinamika kebudayaannya. Saling menerima dan memberi, memengaruhi, dipe­ngaruhi, dan terpe­ngaruhi. Menjadi manusia Cirebon, orang bisa dengan cara mempertahankan identitas kultural nenek moyangnya (asmilasi), menjadi manusia Cirebon pula, orang bisa menanggalkan budaya lama nenek moyangnya, lalu ber­adaptasi dengan budaya baru yang ­dipilihnya (akulturasi).

”Sesungguhnya, yang disebut budaya nenek moyangnya yang asli juga tidak ada. Semua telah berbaur. Cirebon ini ciri masyarakatnya ialah hibrida, campuran, multikultur yang memiliki sejarah sangat panjang. Ini memengaruhi pola budaya, cara ber­pikir, dan bersikap dari masya­rakatnya,” ujar Nurdin yang menulis buku Menusa Cerbon ini.

 

Simbol besar

Oppan mengatakan, tidak hanya relasi sejarah antara saka tatal di Masjid Agung Sang Ciptarasa de­ngan Kelenteng Hok Kek Cheng Sin Jamblang, tapi ada banyak simbol besar yang menunjukan asimilasi (perpaduan) dan akulturasi (percampuran) budaya itu.

Di kompleks permakaman Kanjeng Sunan Gunung Djati di ­Gunung Sembung, Kecamatan Gunung Jati, bisa terlihat dari peziarahnya. Yang datang, tak hanya beragama Islam, tetapi juga dari berbagai agama.

Dalam sejarahnya, adalah keliru jika mengartikan orang Tionghoa selalu dengan lekat Konfusianisme, Tao, atau melulu persoalan ekonomi. Kontribusi mereka dalam penyebaran dan pengembang­an Islam di tanah Jawa juga sangat besar. Bah­kan, kedatangan Laksamana Cheng Ho yang membawa ratusan armada kapal ke pantura Jawa, termasuk ke Cirebon, itu tidak hanya merajut kerja sama dagang, tetapi juga ada misi penyebaran Islam.

Banyak lahir ulama besar yang dalam riwayatnya masih keturun­an Tionghoa, di antaranya ialah Syekh Quro atau yang juga dikenal sebagai Jaka Tawa yang menyebarkan Islam di Karawang. Tokoh yang juga dikenal sebagai Syekh Hasanudin bin Syarif ini bahkan memiliki anak yang namanya, Tan Go Oat. Nama Tionghoa ini di­pertahankan oleh Syekh Quro untuk anaknya yang dikenal sebagai Sunan Bentong.

”Kalau mau merujuk lebih jauh, Pangeran Jin Bun atau Panembahan Jimbun, dikenal dengan Raden Pa­tah itu keturunan Tionghoa. Orang yang pertama mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, Kerajaan Demak,” tutur Oppan.

Simbol multikulturalisme Cirebon bahkan diperkuat dalam konteks relasi kekuasaan ketika itu yang di­pegang Sunan Gunung Djati saat me­rintis Kesultanan Cirebon. Lambang Kerajaan Islam Cirebon itu berupa Paksi Naga Liman. Paksi ­berarti burung sebagai lambang pengaruh Islam (Arab); naga adalah ular naga sebagai pengaruh Tiong­kok; dan liman atau gajah sebagai pengaruh India (Hindu-Buddha).

Halaman:

Editor: Gita Pratiwi


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x