”Caruban akar katanya dari campuran. Cirebon merupakan melting pot (kuali peleburan), titik temu dan titik campur berbagai ragam kebudayaan. Tik hanya lokal seperti Jawa dan Sunda, tetapi juga kebudayaan global, Tiongkok, Arab, India, atau bahkan Eropa setelah memasuki era kolonial,” tutur Nurdin.
Pada pertemuan itu terjadi peleburan kebudayaan, ada proses asimilasi dan akulturasi pada dinamika kebudayaannya. Saling menerima dan memberi, memengaruhi, dipengaruhi, dan terpengaruhi. Menjadi manusia Cirebon, orang bisa dengan cara mempertahankan identitas kultural nenek moyangnya (asmilasi), menjadi manusia Cirebon pula, orang bisa menanggalkan budaya lama nenek moyangnya, lalu beradaptasi dengan budaya baru yang dipilihnya (akulturasi).
”Sesungguhnya, yang disebut budaya nenek moyangnya yang asli juga tidak ada. Semua telah berbaur. Cirebon ini ciri masyarakatnya ialah hibrida, campuran, multikultur yang memiliki sejarah sangat panjang. Ini memengaruhi pola budaya, cara berpikir, dan bersikap dari masyarakatnya,” ujar Nurdin yang menulis buku Menusa Cerbon ini.
Simbol besar
Oppan mengatakan, tidak hanya relasi sejarah antara saka tatal di Masjid Agung Sang Ciptarasa dengan Kelenteng Hok Kek Cheng Sin Jamblang, tapi ada banyak simbol besar yang menunjukan asimilasi (perpaduan) dan akulturasi (percampuran) budaya itu.
Di kompleks permakaman Kanjeng Sunan Gunung Djati di Gunung Sembung, Kecamatan Gunung Jati, bisa terlihat dari peziarahnya. Yang datang, tak hanya beragama Islam, tetapi juga dari berbagai agama.
Dalam sejarahnya, adalah keliru jika mengartikan orang Tionghoa selalu dengan lekat Konfusianisme, Tao, atau melulu persoalan ekonomi. Kontribusi mereka dalam penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa juga sangat besar. Bahkan, kedatangan Laksamana Cheng Ho yang membawa ratusan armada kapal ke pantura Jawa, termasuk ke Cirebon, itu tidak hanya merajut kerja sama dagang, tetapi juga ada misi penyebaran Islam.
Banyak lahir ulama besar yang dalam riwayatnya masih keturunan Tionghoa, di antaranya ialah Syekh Quro atau yang juga dikenal sebagai Jaka Tawa yang menyebarkan Islam di Karawang. Tokoh yang juga dikenal sebagai Syekh Hasanudin bin Syarif ini bahkan memiliki anak yang namanya, Tan Go Oat. Nama Tionghoa ini dipertahankan oleh Syekh Quro untuk anaknya yang dikenal sebagai Sunan Bentong.
”Kalau mau merujuk lebih jauh, Pangeran Jin Bun atau Panembahan Jimbun, dikenal dengan Raden Patah itu keturunan Tionghoa. Orang yang pertama mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, Kerajaan Demak,” tutur Oppan.
Simbol multikulturalisme Cirebon bahkan diperkuat dalam konteks relasi kekuasaan ketika itu yang dipegang Sunan Gunung Djati saat merintis Kesultanan Cirebon. Lambang Kerajaan Islam Cirebon itu berupa Paksi Naga Liman. Paksi berarti burung sebagai lambang pengaruh Islam (Arab); naga adalah ular naga sebagai pengaruh Tiongkok; dan liman atau gajah sebagai pengaruh India (Hindu-Buddha).