Munggahan Masyarakat Sunda di Jogja Lestarikan ‘Degung’ dan ‘Balakecrakan’, ini Ucapan Ramadhan Bahasa Sunda

13 April 2021, 06:30 WIB
radisi ‘munggahan’ yang dilakukan masyarakat Sunda di Asrama Kujang Jawa Barat - Yogyakarta, dengan menabuh gamelan Degung, balakecrakan, dan menyampaikan ucapan Ramadhan dalam bahasa Sunda.* //Dok. Asrama Kujang Jabar - DIY

PR CIREBON — Meski berada jauh dari kampung halaman Tatar Pasundan, masyarakat Sunda yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar acara ‘munggahan’ dengan ‘ngamumule’ atau melestarikan seni budaya tradisi leluhur.

Hal itu tercermin dari warga Paguyuban Asrama Kujang Jawa Barat - Jogja, yaitu perkumpulan masyarakat Sunda yang sedang merantau, kuliah, ataupun yang sudah berdomisili di Yogyakarta, melaksanakan tradisi munggahan dengan mengadakan pagelaran ‘Degung’ dan ‘balakecrakan’.

Sebagaimana dipahami oleh khalayak tanah air, tradisi munggahan sudah menjadi budaya umat Islam di Indonesia ketika menyambut datangnya bulan suci Ramadhan—dilakukan sehari sebelum hari pertama puasa.

Baca Juga: Kompak Puji Paras Tampan Ukkasya, Fanny Bauty dan Herlianah Sebut Cucunya Mirip Irwansyah atau Zaskia Sungkar?

Yakni, dengan mengadakan acara berkumpul untuk silaturahmi, doa bersama, saling bermaaf-maafan, dan biasanya ditutup dengan sajian hidangan untuk makan bersama.

Ki Demang Wangsafyudin, selaku pini sepuh atau induk semang Asrama Kujang, menyampaikan makna munggahan menyambut bulan suci Ramadhan dari sudut pandang agama, budaya Sunda, dan juga kesehatan.

“Tradisi munggahan di Asrama Kujang dalam menyambut Ramadhan, dilakukan menggelar doa bersama, menabuh gamelan Degung, dan dilanjut acara makan bersama, atau dalam dialek Sunda disebut balakecrakan,” ungkapnya, kepada Cirebon.Pikiran-Rakyat.com, Senin 12 April 2021.

“Kemudian, dilanjutkan dengan doa bersama dan saling bermaaf-maafan satu sama lain, dengan harapan memasuki bulan suci Ramadhan dengan hati yang lebih bersih tanpa syak wasangka,” tambahnya.

Baca Juga: Simak Alasan Zodiak Pisces Dikenal sebagai Pribadi yang Baik Hati, Sungguh Buatmu Merasa Beruntung

Mengenai makna menabuh gamelan Degung, dijelaskan Ki Demang Wangsafyudin, bahwa esensi Seni Sunda dalam perspektif Islam, menurutnya, perlu diketahui Agama Islam masuk dan tersebar di Indonesia dengan jalan dan cara yang damai.

Di mana, yang melakukan Syiar Islam tersebut adalah para Wali yang bejumlah 9 orang, dikenal ‘Walisongo’.

Kontribusinya begitu besar dalam menyebarkan ajaran Islam di nusantara ini. Dan, para Wali tersebut tidak serta merta memberangus praktek adat tradisi yang sudah berkembang di masyarakat.

Bahkan, melalui cara tradisi yang ada lingkungan masyarakat digunakan sebagai media penyampai Syariat Islam.

Baca Juga: Usia Ukkasya Muhammad Syahki Belum Sebulan, Irwansyah dan Zaskia Sungkar Kompak Biasakan Hal Ini pada Putranya

Proses-proses penyesuaian antara tradisi adat istiadat dan Islam disebut sinkretisme. Dalam proses itu, para Wali tidak menghilangkan praktik-praktik lama, tetapi dengan menambahkan warna Islam dalam setiap tradisi yang berkembang di masyarakat.

“Adapun, sinkretisme yang terjadi dalam seni tradisi budaya Sunda, diantaranya ‘Degung, berasal dari ‘undak usuk basa’ atau kosakata bahasa Sunda, yaitu “ngadegkeun Nu Agung”, atau mendirikan tiang agama Islam, menegakkan segala perintah Allah SWT,” jelasnya.

Lebih lanjut Ki Demang Wangsafyudin memaparkan, dalam seni Degung terdapat waditra atau instrumen alat musik ‘Kacapi’ dan ‘Suling’.

Diterangkannya, Kacapi berasal dari kata yang berarti kaca pikiran. Artinya, sebagai manusia, setiap pemikiran harus bernilai positif dan bermanfaat mampu menjadi cerminan orang lain. Sedangkan Suling, berarti “susul nepi ka eling”, atau manusia harus berpikir secara waras/sadar.

Baca Juga: Kenang Pangeran Philip, Pangeran Harry Beri Pujian hingga Terkesan dengan Kesetiaannya pada Ratu Elizabeth

“Kita menabuh gamelan, karena ada juga mahasiswa warga Jawa Barat yang sedang kuliah. Maksudnya supaya generasi muda tertarik pula ikut melestarikan, hingga tidak tidak lupa akan kesenian daerahnya,” ujar Ki Demang Wangsafyudin.

“Pun, yang memainkan kita bersama-sama. Kebetulan yang senior banyak yang menjadi dosen di Institut Seni Yogyakarta (ISI). Bahkan, turut hadir Profesor Jawahir Thontowi, tokoh hukum Indonesia, beliau di Asrama Kujang sama-sama membina dan mengajari kaula muda Jawa Barat yang ada di Jogja,” ungkapnya lagi.

Sebelumnya, selaku pinisepuh, Ki Demang Wangsafyudin selalu melakukan komunikasi lintas budaya dengan masyarakat setempat. Hal itu supaya ketika menabuh gamelan tidak membuat warga Jogja merasa terganggu, atau bising.

Serta, dalam acara ramah tamah, warga Asrama Kujang yang hadir dalam acara munggahan tersebut diwajibkan menyampaikan ucapan selamat Ramadhan dalam bahasa Sunda. Berikut satu ucapan Ramadhan dari Ki Demang Wangsafyudin:

Baca Juga: Lalui Puasa Ramadhan Pertama Pasca Kepergian Rina Gunawan, Teddy Syach: Mungkin Saya Juga Nggak Kuat

“Seungitna Ramadhan geus ngadalingding. Gupay panghiap Ramadhan geus gugupay. Ngagupay kanu iman keur nedunan parentah Gusti Allah SWT. Ramadhan bulan nu suci tempatna nyeuseuh diri, nyipuh kalbu, ngumbah rereged geuleuh takabur, riya, sum'ah dina manah.”

“Mugia dina mayunan sasih nu mulya ieu, urang sadaya dipaparin jembar manah luntur kalbu kersa ngabuka panto hampura tina sadaya luput lepat.”

Ki Demang Wangsafyudin adalah warga Sunda pertama yang menjadi Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta, berpangkat Wedana.

Asrama Kujang yang beralamat di jalan Pengok Kidul No14, Baciro, Kota Yogyakarta. Adalah, sebuah tempat singgah bagi warga Jawa Barat yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca Juga: Houthi Tembakan 17 Drone dan Dua Rudal Balistik ke Arab Saudi

Dahulunya, hanya menjadi tempat bagi anak-anak pejabat Jawa Barat. Seperti dari kalangan priyayi keluarga gubernur, bupati atau wali kota, yang sedang sekolah atau kuliah di Yogyakarta.

Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman. Sistem berbau feodal itu sirna. Dan kini, semua pelajar/mahasiswa, pedagang, perantau, ataupun bagi pelancong yang membutuhkan tempat tinggal sementara, dari kalangan apa pun diperbolehkan singgah.

Setelah mengalami renovasi, kini Asrama Kujang berdiri tiga lantai, ditambah basement tempat parkir kendaraan.

Di lantai pertama terdapat ruang guyub bagi sesama perantau, sanggar seni sebagai diplomasi kebudayaan Sunda di Yogyakarta, hingga pusat pelayanan informasi tentang Provinsi Jawa Barat.

Baca Juga: Pakar Dermatologi Sebut Ketiak yang Bau Bawang Adalah Hal yang Tak Aneh

Lantai dua terdiri dari puluhan kamar khusus diperuntukan sebagai tempat singgah sementara bagi warga Jawa Barat yang sedang ada keperluan di Yogyakarta.

Dan, lantai tiga terdapat kamar yang jumlahnya sesuai jumlah kota/kabupaten yang ada di Jawa Barat. Diperuntukan bagi mahasiswa yang didelegasikan dari tiap komisariat daerah kota/kabupaten.***

Editor: Rahmi Nurlatifah

Tags

Terkini

Terpopuler