Korea Utara memang telah dikenai sanksi oleh PBB sejak tahun 2006 atas program nuklir dan rudal balistiknya.
Hingga saat ini, Dewan Keamanan PBB terus memperkuat sanksi dalam upaya untuk memotong dana untuk program-program tersebut.
Baca Juga: Gibran Sebut Dukungan Prabowo Jadi Kekuatan Tambahan untuk Menang Pilkada Solo
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump telah bertemu tiga kali sejak 2018, namun keduanya gagal untuk membuat kemajuan terkait imbauan AS agar Pyongyang menyerahkan senjata nuklirnya dan tuntutan Korea Utara untuk mengakhiri sanksi.
Pada Mei 2018, Korea Utara menindaklanjuti janji untuk meledakkan terowongan di lokasi uji coba nuklir utamanya, Punggye-ri, yang menurut Pyongyang adalah bukti komitmennya untuk mengakhiri pengujian nuklir.
Namun mereka tidak mengizinkan para ahli untuk menyaksikan pembongkaran situs tersebut.
Baca Juga: Buat Lakon Pendek Bertajuk 'Pandemi Kesurupan', Bintang Emon Parodikan Wawancara sebagai 'Jumanji'
Laporan PBB mengatakan, karena hanya pintu masuk terowongan yang diketahui telah dihancurkan dan tidak ada indikasi pembongkaran yang komprehensif, satu negara telah menilai bahwa Korea Utara dapat membangun kembali dan menginstal ulang dalam waktu tiga bulan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung uji coba nuklir.
Para pakar PBB mengatakan, Korea Utara melanggar sanksi, termasuk melakukan ekspor batubara maritim ilegal, meskipun Korea Utara menangguhkan ini untuk sementara waktu pada periode antara akhir Januari dan awal Maret 2020 karena pandemi virus corona.
Tahun lalu, para pakar PBB mengatakan Korea Utara telah menghasilkan dana sekitar US$ 2 miliar lewat serangan cyber yang luas dan canggih untuk mencuri dari bank dan pertukaran mata uang kripto.