“Rasanya seperti berasal dari laut. Kami tidak bisa menggunakannya untuk minum, memasak, atau bahkan mandi,” katanya, dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari Al Jazeera.
Abdelkarim mengatakan warga memiliki akses ke air kota hanya tiga kali seminggu, dan kadang-kadang air itu bercampur dengan limbah.
Limbah tersebut disebabkan oleh infrastruktur yang rusak di kamp-kamp pengungsi dan tidak dapat menanganinya dengan baik.
“Hidup di kamp-kamp pengungsi sangat menyedihkan. Kami selalu membeli air minum dari pedagang kaki lima,” ujar Abdelkarim.
Banyak pedagang swasta di Gaza menghilangkan garam air dan menjualnya kepada orang-orang di jalur tersebut.
Baca Juga: 20 Tahun Menikah, Eko Patrio: Semoga Kedepannya Kita Lebih Baik Lagi
Muhammad Saleem dari lingkungan Al-Sheikh Redwan di Gaza utara, mengatakan upaya untuk menumbuhkan kebun di rumahnya telah gagal karena airnya terlalu tercemar.
“Semua tanaman saya mengering dan mati karena salinitas air yang tinggi dan klorida yang tinggi,” tandasnya.
Muhammad menambahkan bahwa tidak mungkin selama bertahun-tahun bagi dia dan keluarganya untuk menggunakan air keran kota untuk minum, memasak, atau kebutuhan lainnya.