Jurnalis AS Beberkan Kondisi Saat Ditahan Militer Myanmar: Saya Dipukul dan Ditampar Beberapa Kali

- 29 Juni 2021, 18:55 WIB
Ilustrasi militer Myanmar. Seorang jurnalis asal AS mengungkapkan seperti apa kondisi saat ia ditahan oleh militer Myanmar, termasuk disiksa dengan dipukuli.
Ilustrasi militer Myanmar. Seorang jurnalis asal AS mengungkapkan seperti apa kondisi saat ia ditahan oleh militer Myanmar, termasuk disiksa dengan dipukuli. /Instagram.com/@myanmar.tatmadaw

PR CIREBON – Pasukan keamanan Myanmar meninju, menampar dan memukuli jurnalis AS serta menutup matanya selama lebih dari seminggu interogasi.

Hal itu diungkapkan oleh jurnalis AS tersebut setelah ia dideportasi ke AS, usai ditahan tiga bulan oleh militer Myanmar.

Jurnalis AS bernama Nathan Maung itu merupakan pemimpin redaksi platform berita online Kamayut Media. Ia ditahan oleh militer Myanmar pada 9 Maret dalam sebuah penggerebekan dan dibebaskan pada 15 Juni.

Baca Juga: Kecam Serangan Udara AS ke Negaranya, Perdana Menteri Irak: Pelanggaran Kedaulatan yang Tidak Dapat Diterima

Ia mengungkap bahwa rekannya, Hanthar Nyein yang masih dalam tahanan dan ia temui di penjara, telah disiksa lebih keras.

“Mereka menendang wajah, tangan, dan bahu kami sepanjang waktu,” kata Maung, yang lahir di Myanmar.

“Untuk setiap jawaban, mereka memukul kami. Apa pun yang kami jawab, apakah benar atau salah, mereka memukul kami. Selama tiga hari, tanpa berhenti,” lanjutnya, dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari Reuters.

Baca Juga: Lama Hiatus, 2PM Memutuskan Comeback dan Rilis Album Berjudul 'MUST'

Juru bicara militer Myanmar tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari pengakuan Maung.

Militer Myanmar mengatakan para tahanan diperlakukan sesuai dengan hukum.

Akan tetapi, saat militer mengkonsolidasikan kendali pada pemberontak, mereka telah menangkap wartawan dan mulai menargetkan pengacara yang membela tahanan politik.

Baca Juga: Putuskan untuk Berhenti Tanggapi Denise Chariesta, Dewi Perssik: Ternyata Aku Terjebak

Pasukan keamanan di Myanmar secara sewenang-wenang menahan ribuan orang yang memberontak terhadap kudeta militer pada bulan Februari.

Banyak pihak menjadi sasaran banyak penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan, menurut laporan 22 Juni oleh Human Rights Watch.

"Tiga sampai empat hari pertama adalah yang terburuk," ungkap Maung lagi.

Baca Juga: Singapura yang Akan Anggap Covid-19 Sebagai Flu Biasa, Zubairi Djoerban: Pekerjaan Rumah Kita Masih Banyak

“Saya dipukul dan ditampar beberapa kali. Tidak peduli apa yang saya katakan, mereka hanya memukuli saya. Mereka menggunakan kedua tangan mereka untuk menampar gendang telinga saya berkali-kali.

“Mereka meninju tulang pipi saya di kedua sisi. Mereka meninju bahu saya. Saya tidak diizinkan untuk berdiri. Kaki saya bengkak. Saya tidak bisa bergerak lagi,” katanya.

Maung, yang lahir di Myanmar dan melarikan diri ke AS sebagai pengungsi pada 1990-an, mengatakan dia ditangkap di kantor Kamayut Media dan dibawa untuk ditanyai tentang publikasinya, perannya di sana dan bagaimana cara kerjanya.

Baca Juga: Singapura Anggap Covid-19 Sebagai Flu Biasa, dr. Tirta: Jangan Mau Hasilnya Aja

“Mereka memborgol tangan saya ke belakang, mengikat mata saya dengan kain dan menutupinya dengan kain lain,” katanya.

“Mereka tidak mengizinkan saya tidur selama sekitar tiga atau empat hari. Interogasi tanpa henti. Tidak ada waktu untuk tidur,” katanya.

Dia mengatakan pemukulan berkurang pada hari keempat, setelah mereka mengetahui bahwa dia adalah warga negara AS.

Baca Juga: Filipina Ambil Langkah Perpanjang Pembatasan Sosial Akibat Covid-19 hingga Juli

“Pada hari ke delapan, seorang kolonel datang, dia melepas kain penutup mata saya,” ujar Maung.

Maung bertemu dengan pejabat AS setelah pembebasannya dan mereka membantu dia dan keluarganya.

Kamayut Media menghentikan publikasi setelah penangkapannya, tetapi Maung mengatakan dia berencana untuk melanjutkan pekerjaannya.

Baca Juga: Mulai Bulan Juli, Hong Kong Larang Penerbangan dari Inggris karena Lonjakan Varian Delta

Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan lebih dari 6.000 orang telah didakwa atau dihukum setelah ditahan sejak kudeta.

Pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 883 orang sejak itu, namun militer Myanmar membantah angka itu.***

Editor: Linda Agnesia

Sumber: REUTERS


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah