Seiring Kontroversi Sikap Pemerintah, Serangan Islamofobia Terhadap Muslim di Prancis Naik 53 Persen di 2020

- 30 Januari 2021, 17:00 WIB
Masjid Raya Paris, Prancis. Data menunjukkan bahwa serangan islamofobia terhadap muslim di Prancis meningkat 53 persen di tahun 2020.*
Masjid Raya Paris, Prancis. Data menunjukkan bahwa serangan islamofobia terhadap muslim di Prancis meningkat 53 persen di tahun 2020.* /Instagram/@mosqueedeparis

PR CIREBON - Jumlah insiden Islamofobia di Prancis, rumah bagi komunitas muslim terbesar di Eropa Barat, meningkat tajam di tengah kontroversi atas sikap pemerintah terhadap minoritas agama pada tahun 2020.

Menurut kepala National Observatory of Islamophobia, Abdallah Zekri, ada 235 serangan terhadap muslim di Prancis pada tahun 2020, naik dari 154 tahun sebelumnya, melonjak 53 persen.

Sebagian besar serangan terjadi di wilayah Ile-de-France (Paris), Rhones-Alpes en Paca di negara Prancis.

Baca Juga: Emmanuel Macron Sebut Vaksin AstraZeneca Dimungkinkan Tidak Efektif untuk Lansia

Dilansir Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari laman Daily Sabah, Zekri mengatakan serangan terhadap masjid melonjak 35 persen di tahun yang sama.

Diketahui sebanyak 70 surat ancaman telah dikirim ke markas besar Dewan Ibadah muslim Prancis (CFCM) atau pengurusnya tahun lalu.

Zekri meningkatkan kewaspadaan atas penyebaran kebohongan tentang Islam dan muslim serta email yang menghasut kebencian terhadap muslim.

Baca Juga: WHO dan UNESCO Beri Julukan Jurnalis ‘Society's Janitor’ dalam Program Vaksinasi Covid-19

Bencana ekstremisme sayap kanan, yang khususnya menargetkan muslim, telah meningkat di Eropa, dan laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa Prancis paling menderita akibat atmosfer kebencian ini.

Muslim di Prancis khawatir dengan pandangan negatif yang dimiliki beberapa anggota masyarakat Prancis tentang Islam, kata Zekri.

Seraya menambahkan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dan terorisme, dan muslim di Prancis harus dapat menjalankan agama mereka secara bebas seperti anggota agama lain.

Baca Juga: Langgar Perjanjian, Tiongkok akan Mulai Berhenti Akui Paspor Inggris untuk Warga Hong Kong

Pemerintah Prancis telah dikritik karena tindakan dan retorikanya terkait Islam dan Muslim, termasuk klaim Presiden Emmanuel Macron pada bulan Oktober bahwa Islam "dalam krisis".

Serta usulan undang-undang "anti-separatisme" yang akan membuat batasan pada komunitas muslim.

RUU tersebut, yang ditetapkan dalam pemungutan suara di Parlemen Prancis, akan mengganggu masjid dan pengurusnya serta mengontrol keuangan asosiasi dan organisasi non-pemerintah (LSM) milik muslim.

Baca Juga: Menamai Dirinya Boneka Modifikasi, Wanita ini Habiskan Rp 62 Juta untuk Merubah Tampilan

Beberapa kritikus berpendapat bahwa RUU itu bermotif politik menjelang pemilu Prancis 2022.

Para ahli mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut adalah manuver politik Macron, yang bertujuan untuk memenangkan dukungan para pengikut di sayap kanan.

Topiknya sensitif karena populasi muslim yang besar di Prancis, diperkirakan mencapai 5 juta.

Baca Juga: Iran Pastikan Tidak akan Terima Tuntutan Amerika Serikat sebelum Sanksi Dicabut

Undang-undang yang diusulkan, dengan judul "Mendukung Prinsip-Prinsip Republik," secara langsung tidak menyebutkan Islam maupun Islamisme dalam upaya untuk menghindari stigmatisasi terhadap muslim.

Saat memperkenalkan RUU tentang perang melawan separatisme, Perdana Menteri Jean Castex menekankan bahwa itu "bukanlah teks yang menentang agama atau pada khususnya melawan agama muslim."

Ia menegaskan bahwa itu adalah "undang-undang kebebasan, undang-undang perlindungan, undang-undang emansipasi dari fundamentalisme Islam" atau ideologi lain yang mengejar tujuan yang sama.

Baca Juga: Selandia Baru jadi Negara Terbaik dalam Penanganan Covid-19, Indonesia Posisi Berapa?

Pemerintah negara itu mengumumkan RUU anti-Muslim setelah pembunuhan mengerikan terhadap seorang guru Prancis pada Oktober tahun lalu oleh seorang tersangka berusia 18 tahun yang berasal dari Chechnya.

Otoritas Prancis telah mengadopsi pendekatan hukuman kolektif dan menimbulkan retorika anti-Muslim, yang memicu kecaman luas.

Remaja itu menyerang Samuel Pati di siang hari, membunuhnya di luar sekolah di Conflans-Saint-Honorine, pinggiran kota sekitar 15 mil dari pusat kota Paris.

Baca Juga: Temui Ilmuwan Tiongkok, WHO Kirim Tim untuk Selidiki Asal-usul Covid-19

Beberapa hari setelah pembunuhan tersebut, pemerintah melancarkan tindakan keras terhadap organisasi Muslim, sementara kelompok main hakim sendiri menyerang masjid.

Macron menjadi sosok yang dibenci di beberapa negara muslim dengan banyak aksi boikot produk Prancis.

Hal itu terjadi setelah presiden Prancis membela karikatur provokatif Charlie Hebdo yang menyerang Nabi Muhammad.***

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: Daily Sabah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x