Gelombang Protes di Thailand Semakin Tegang, Tuntutan Reformasi Monarki Disuarakan

- 24 November 2020, 16:03 WIB
Demonstrasi di Thailand: Gelombang protes di Thailand semakin tegang setelah polisi menembak 6 orang pada pekan lalu dan menggunakan gas air mata di Bangkok.
Demonstrasi di Thailand: Gelombang protes di Thailand semakin tegang setelah polisi menembak 6 orang pada pekan lalu dan menggunakan gas air mata di Bangkok. //PMJ News/

PR CIREBON – Ketegangan meningkat di sekitar protes Thailand, dengan polisi menembak enam orang pekan lalu dan menggunakan gas air mata dan meriam air di jalan-jalan Bangkok.

Ibu kota Thailand bersiap untuk demonstrasi besar berikutnya pada Rabu, 25 November 2020, dengan pengunjuk rasa berencana untuk melakukan unjuk rasa di Biro Properti Mahkota, badan yang mengelola properti monarki Thailand.

Setelah empat bulan aksi unjuk rasa, terkadang melibatkan puluhan ribu demonstran, suasana semakin keras, dengan para pemimpin protes memperingatkan mereka tidak siap untuk berkompromi.

Baca Juga: Dinkes Jabar Adakan Lomba dengan Total Hadiah Jutaan Rupiah, Berikut Caranya

Slogan dan penghinaan terhadap monarki, yang tidak terpikirkan beberapa waktu yang lalu, semakin bertambah, sementara polisi anti huru hara menunjukkan pekan lalu bahwa mereka siap untuk mengambil tindakan tegas terhadap aksi unjuk rasa.

Gerakan yang dipimpin mahasiswa telah mendapatkan basis yang kuat di jalan-jalan dan media sosial dan para ahli mengatakan bahwa Red Shirts, sebuah kelompok yang pernah gencar yang memimpin protes jalanan besar satu dekade lalu, dapat bergabung dalam barisan.

Gerakan tersebut menyerukan Perdana Menteri Prayut Chan-o-Cha, yang berkuasa melalui kudeta tahun 2014, untuk mundur, dan terjadinya perubahan konstitusi dan untuk reformasi monarki.

Baca Juga: Pria Pemanjat Baliho Kembali Berulah, Diturunkan Secara Paksa Menggunakan Crane

Siripan Nogsuan Sawasdee, profesor ilmu politik di Universitas Chulalongkorn Bangkok, mengatakan bahwa gerakan tersebut perlu memprioritaskan tuntutannya dan memfokuskan kepemimpinannya pada beberapa tokoh terkemuka jika ingin membuat kemajuan.

“Tetapi dengan tuntutan mereka yang sangat tabu untuk reformasi monarki, para pengunjuk rasa telah membiarkan munculnya budaya politik baru, mendorong kebebasan berekspresi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kerajaan,” katanya, dikutip Pikiranrakyat-Cirebon.com dari Channel News Asia.

Pihak berwenang telah memberikan tanggapan yang hati-hati terhadap gerakan tersebut sejak muncul pada Juli, mengumumkan tindakan darurat kemudian menarik status darurat itu, lalu menangkap para pemimpin protes kemudian membebaskan mereka lagi.

Baca Juga: Polisi Sebut Bahar Smith Menolak Diperiksa Terkait Kasus Penganiayaan: Dilimpahkan ke Kejaksaan

"Sejak awal gerakan, pemerintah telah bermain-main," kata Paul Chambers dari Universitas Naresuan.

Tidak seperti gerakan protes Thailand sebelumnya, mayoritas demonstran adalah pemuda penghuni kota kelas menengah.

Pihak berwenang dikabarkan waspada untuk menodai citra internasional Thailand dengan pengulangan tindakan keras terhadap Red Shirts pada tahun 2010 yang menewaskan 90 orang di jantung kawasan wisata dan perbelanjaan Bangkok.

Baca Juga: Simbol Jempol Kejepit Bukan Bermakna Mesum, Ini Arti Sesungguhnya

Namun, pihak berwenang telah mengeraskan nada mereka dalam beberapa hari terakhir, mengacungkan ancaman pasal 112, yakni undang-undang pencemaran nama baik kerajaan yang terkenal ketat, yang dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.***

Editor: Irma Nurfajri Aunulloh

Sumber: Channel New Asia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x