PR CIREBON - Salah satu perusahan energi besar di China kini sedang dalam pembicaraan dengan eksportir Amerika Serikat (AS).
Para pihak perusahaan China bersama eksportir AS melakukan diskusi untuk mengamankan pasokan gas alam cair (LNG) dalam jangka panjang.
Dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari laman Reuters, akibat harga gas tengah melonjak, serta kekurangan listrik domestik yang menimbulkan tingkat kekhawatiran tentang keamanan bahan bakar pada negara China.
Baca Juga: Jelang Comeback 'Attacca' SEVENTEEN Ajak Penggemar Membuat Musik Sendiri
Diketahui ada lima perusahaan China, yang tergolong sebagai perusahaan terbesar di negara bagian Sinopec Corp dan China National Offshore Oil Company(CNOOC).
Oleh karena itu, distributor energi yang didukung pemerintah lokal, seperti Zhejiang Energy, yang tengah melakukan diskusi dengan eksportir AS.
Selain dari pada itu, perusahaan Cheniere Energy (LNG.A) dan Venture Global pun, juga sama melakukan hal tersebut.
Baca Juga: Melihat Kesuksesan Dengan Ramalan Garis Telapak Tangan, diantaranya Garis Matahari
Hasil dari pada diskusi antara China dan eksportir AS, yakni terjadi kesepakatan senilai puluhan miliar dolar, untuk menandai lonjakan impor LNG China dari AS pada tahun yang akan datang.
Sementara itu, China dengan AS mengalami perang dagang pada 2019, tetapi perdagangan gas berhenti sebentar.
Hal tersebut karena fasilitas ekspor LNG dapat memakan waktu bertahun tahun untuk dibangun.
Baca Juga: Snowdrop Siap Tayang, Intip Aksi Jisoo BLACKPINK dalam Teaser Baru Ini
Namun, ada beberapa proyek di Amerika Utara, yang sedang dikerjakan, yang diperkirakan tidak akan mulai mengekspor hingga pertengahan dekade ini.
Pada pembicaraan dengan eksportir AS tersebut, dimulai sejak awal tahun ini, akan tetapi dipercepat dalam beberapa bulan terakhir.
Hal tersebut dilaakukan, pada saat bahan bakar pembangkit listrik terbesar tengah mengalami krisis, dalam beberapa dekade.
Menurut, sumber industri senior yang berbasis di Beijing, bahwa perusahaan tengah mengalami kesenjangan pasokan pada musim dingin.
"Perusahaan menghadapi kesenjangan pasokan (untuk musim dingin) dan harga melonjak," ucapnya.
"Pembicaraan benar-benar meningkat sejak Agustus ketika harga spot menyentuh $15/mmbtu (sekitar Rp211 ribu)," sambungnya.
Sementara sumber lain yang berbasis Beijing juga mengatakan, saat sedang mengalami volatilitas, pasar besar-besaran pada belum lama ini.
Tetapi, beberapa pembeli tengah menyesal karena mereka tidak menandatangani untuk pasokan dalam jangka panjang.***