PR CIREBON – Pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut bahwa puluhan anak telah terbunuh dan ratusan ditahan secara sewenang-wenang di Myanmar sejak kudeta.
Bahkan, menurut PBB, gejolak politik di Myanmar berlanjut di tengah darurat kesehatan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Komite hak anak PBB melaporkan bahwa mereka telah menerima informasi yang dapat dipercaya, yang menyebut 75 anak telah terbunuh dan sekira 1.000 orang ditangkap di Myanmar sejak 1 Februari.
“Anak-anak di Myanmar dikepung dan menghadapi korban jiwa akibat kudeta militer,” kata ketua komite, Mikiko Otani, dalam sebuah pernyataan yang dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari Al Jazeera.
Penduduk Myanmar telah berbulan-bulan melakukan protes massal, tetapi mereka mendapat balasan dari militer yang brutal sejak kudeta yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
“Anak-anak terpapar kekerasan tanpa pandang bulu, penembakan acak, dan penangkapan sewenang-wenang setiap hari,” ujar Otani.
Baca Juga: Tes Kepribadian: Gambar yang Pertama Kali Dilihat Ungkap Kelebihan yang Anda Miliki
"Militer menodongkan senjata ke arah anak-anak itu dan melihat hal yang sama terjadi pada orang tua dan saudara mereka," lanjutnya.
Komite tersebut terdiri dari 18 ahli independen yang ditugaskan untuk memantau pelaksanaan Konvensi Hak Anak, yang ditandatangani Myanmar pada tahun 1991.
Para ahli mengatakan mereka sangat mengutuk pembunuhan anak-anak oleh junta dan polisi, menunjukkan bahwa beberapa korban dibunuh di rumah mereka sendiri.
Baca Juga: Bermusuhan di The Penthouse 3, Kim So Yeon dan Uhm Ki Joon Justru Terlihat Akrab di Lokasi Syuting
Salah satunya adalah seorang gadis enam tahun di kota Mandalay yang, menurut komite, ditembak di perut oleh polisi.
Para ahli juga mengecam penahanan sewenang-wenang yang meluas terhadap anak-anak di kantor polisi, penjara, dan pusat penahanan militer.
Mereka menunjuk otoritas militer yang melaporkan praktik menyandera anak-anak ketika militer tidak dapat menangkap para orang tua.
Termasuk seorang gadis berusia lima tahun di wilayah Mandalay yang ayahnya membantu mengorganisir protes anti-militer.
Situs berita lokal Myanmar Now juga melaporkan bahwa dua anak di bawah umur, berusia 12 dan 15 tahun termasuk di antara tujuh penduduk desa dari kotapraja Sintgaing di wilayah Mandalay, yang ditahan dan didakwa memiliki bahan peledak.
Para ahli juga menyuarakan keprihatinan mendalam tentang gangguan yang cukup besar dalam perawatan medis penting dan pendidikan sekolah di seluruh negeri.
Baca Juga: Banjir Melanda Jerman dan Belgia, Total Korban Tewas Dilaporkan Mencapai Lebih dari 150 Orang
Akses ke air minum dan makanan yang aman untuk anak-anak di daerah pedesaan juga telah terganggu.
Para ahli menunjukkan bahwa kantor hak asasi PBB telah menerima laporan yang kredibel terkait pasukan keamanan yang menduduki rumah sakit, sekolah dan lembaga keagamaan di negara itu.
Fasilitas tersebut kemudian dirusak dalam aksi militer.***