Hardiknas 2021: Sejarah Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara Sebagai Jurnalis

2 Mei 2021, 09:45 WIB
Patung Ki Hadjar Dewantara di depan Pendapa Agung Tamansiswa Yogyakarta: Sejarah Bapak Pendidikan Nasional, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, yang dikenal pernah menjadi seorang jurnalis. /- Foto : Portal Jogja/Siti Baruni/

PR CIREBON — Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini, 2 Mei 2021, Pikiran Rakyat Cirebon akan mengulas sejarah dari sosok Bapak Pendidikan Nasional, RM Soewardi Soerjaningrat yang dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.

Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh pendidikan yang sangat fenomenal.

Walaupun predikat dokter tidak dapat diraihnya, akan tetapi Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara ini justru berkembang dalam bidang jurnalistik.

Baca Juga: Hasil Liga Inggris: Everton vs Aston Villa, Anwar El Ghazi Cetak Gol Indah pada Menit-menit Akhir

Sebagai jurnalis, dalam kiprahnya Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara banyak memuat tulisan bermuatan politik.

Tulisan-tulisannya itu banyak ditayangkan oleh koran dan dan majalah terbitan pemerintah Hindia Belanda maupun negeri Belanda.

Hiruk pikuknya Ki Hadjar Dewantara sebagai jurnalis, banyak asam garam yang ia makan menjadi suka duka pengalamannya yang fenomenal.

Baca Juga: Ramalan Kartu Tarot Zodiak Minggu 2 Mei 2021: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Jangan Dengar Kata Mereka

Pasalnya, ia kerap ditahan bahkan dibuang ke pengasingan buah dari tulisan yang kental bermuatan kritik terhadap kolonial Belanda.

Di tempat pengasingan pun walau dalam masa pembuangan yang pelik, Ki Hadjar Dewantara tetap mampu menggoreskan tinta dari batang penanya.

Alih-alih koran mingguan Belanda pun kerap memakai tenaga Soewardi Soerjaningrat untuk menulis di surat kabarnya.

Baca Juga: 7 Drama Korea yang Tayang Perdana Bulan Mei 2021, Ada Doom at Your Service hingga Imitation

Soewardi Soerjaningrat kemudian memutuskan menggeluti bidang pendidikan dengan mendirikan lembaga pendidikan bernama Pergerakan Pendidikan Taman Siswa.

Setelah ia kembali dari masa pengasingan, dan meninggalkan profesi sebagai jurnalis dan politikus.

Berkat jasa-jasanya tersebut, Pemerintah Indinesia menganugerahinya Ki Hadjar Dewantara penghargaan, dengan menjadikan hari lahirnya sebagai Hari Pendidikan Nasional, yang diperingati setiap tanggal 2 Mei.

Baca Juga: 5 Tokoh Pejuang Pendidikan Nasional Indonesia, Salah Satunya K.H. Hasyim Asy'ari

Berikut sejarah Soewardi Soerjaningrat sebagai seorang jurnalis, yang Cirebon.Pikiran-Rakyat.com rangkum dari buku ‘Ki Hadjar Dewantara, Pemikiran dan Perjuangannya’, terbitan Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kemendikbud.

Ki Hadjar Dewantara diketahui tidak dapat merampungkan studinya di STOVIA, tetapi ia mendapatkan banyak pengalaman berharga di sana. Soewardi Soerjaningrat bisa berkenalan dengan Dr. Ernest Francois Eugene (E.F.E.) Douwes Dekker, ketika persiapan pendirian Boedi Oetomo.

20 Mei 1908 Boedi Oetomo didirikan, Ki Hadjar Dewantara turut andil dan aktif dalam organisasi pergerakan tersebut dengan mendapat tugas bagian propaganda.

Lalu ia meninggalkan STOVIA, dan belajar analis pada laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas.

Baca Juga: 2 Mei: Sejarah Hari Pendidikan Nasional, Mengenal Peran Ki Hajar Dewantara

Setelah itu, menjadi pembantu apoteker di Apotik Rathkamp, Malioboro Yogyakarta (tahun 1911), sambil nyambi kerja jadi jurnalis (wartawan) di Surat Kabar “Sedyotomo” (Bahasa Jawa), “Midden Java” (Bahasa Belanda) di Yogyakarta, dan “De Express” di Bandung.

Pada tahun 1912 Ki Hadjar Dewantara bersama-sama Dr. E.F.E. Douwes Dekker bertolak ke Bandung untuk mengelola Surat Kabar Harian “De Express”. Tulisan pertamanya berjudul “Kemerdekaan Indonesia”.

Ki Hadjar Dewantara juga terdaftar sebagai Anggota Redaksi Harian “Kaoem Muda” Bandung, “Oetoesan Hindia” Surabaya, “Tjahaja Timoer” Malang. Serta, mendirikan Cabang “Serikat Islam” di Bandung, juga sebagai Ketuanya (1912), sebagaimana tawaran dari HOS Tjokroaminoto.

Pada 6 September 1912, Ki Hadjar Dewantara masuk menjadi Anggota “Indische Partij”, yaitu Partai Politik pertama yang berani mencantumkan tujuan ke arah “Indonesia Merdeka”, bersama-sama Dr. E.F.E. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo.

Baca Juga: Arkeolog Mesir Temukan Makam Langka, Diduga Berasal dari Masa Sebelum Firaun

Semasa di Bandung, bulan Juli 1913 bersama dr. Cipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara mendirikan “Comite Tot Herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid” atau Komite Boemi Poetera sebagai panitia peringatan 100 tahun Kemerdekaan Nederland.

Tapi, komite tersebut malah memprotes akan adanya peringatan 100 tahun Kemerdekaan Nederland dari penjajahan Perancis yang akan diadakan pada 15 Nopember 1913.

Komite Boemi Poetera juga menuntut agar Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan Parlemen (DPR) di Indonesia.

Tulisan Ki Hadjar Dewantara yang paling fenomenal adalah protes peringatan 100 tahun Kemerdekaan Nederland dari penjajahan Perancis yang akan diadakan pada 15 Nopember 1913, namun harus ikut dibiayai dan dirayakan oleh bangsa Indonesia.

Baca Juga: Tunjukkan Persahabatan yang Kuat, Song Hye Kyo Dapat Kiriman Dukungan dari Yoo Ah In!

Lantas, Ki Hadjar Dewantara menuangkan kritik dengan menulis risalah berjudul “Als ik eens Nederlander was” (Andai aku seorang Belanda), dan dr. Cipto Mangunkusumo berjudul “Kracht of Vrees?” (Kekuatan atau Ketakutan?).

Tulisan berikutnya, “Een voor Allen, maar ook Allen voor Een” (Satu buat semua, tetapi juga semua buat satu).

Tulisan-tulisan bermuatan kritik dari Ki Hadjar Dewantara dan dr. Cipto Mangunkusumo begitu memukau, lantas menuai pujian dari Dr. E.F.E. Douwes Dekker, yang dituangkannya pula lewat tulisan berjudul, “Onze Helden, Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M.

Soewardi Soerjaningrat”, (Pahlawan-pahlawan kita, Tjipto Mangunkusumo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat).

Baca Juga: Ramalan Horoskop Cinta Bulanan, Mei 2021: Capricorn, Aquarius, Pisces Renungkan yang Perlu Dikatakan

Puncak karir Ki Hadjar Dewantara sebagai wartawan pejuang ialah tatkala dirinya menulis “Als ik eens Nederlander was”.

Tulisan ini terbit pada Juli 1913, dan menjadi sangat terkenal oleh isinya yang bernada sindiran tajam terahdap Pemerintah Hinda Belanda.

Risalah tulisan tersebut dicetak sebanyak 5.000 eksemplar yang dilakukan untuk memprotes kebijakan Pemerintah Kolonial Hinda Belanda hendak merayakan kemerdekaan negeri Belanda dari Penjajahan Perancis.

Namun, lantaran isi tulis-tulisannya sangat pedas, Tiga Serangkai yang terdiri dari Soewardi Soerjaningrat, dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker, lalu ditangkap dan ditahan dalam penjara.

Baca Juga: Ramalan Horoskop Cinta Bulanan, Mei 2021: Cancer Bebaskan Diri Anda, Virgo Dapat Tantangan

Hingga Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 18 Agustus 1913 mengeluarkan Keputusan No. 2a, bahwa Soewardi Soerjaningrat harus dibuang ke Bangka untuk diasingkan, kemudian dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Timor Kupang.

Namun, mereka bertiga sepakat meminta agar dibuang ke Nederland, dan permintaannya dikabulkan.

Soewardi Soerjaningrat ditawari dan dinasehati oleh Mr. Van Deventer untuk menerima tawaran jadi Guru Pemerintah Hindia Belanda di Bangka guna membebaskannya dari hukuman pembuangan.

Tetapi, mental pejuang dari Ki Hadjar Dewantara tanpa pikir panjang lagi ditolaknya, walaupun Dr. E.F.E. Douwes Dekker menyetujuinya.

Baca Juga: Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2021, Berikut Ini Tema dan Logo Peringatan Hardiknas

Dalam pembuangan di negeri Belanda Soewardi Soerjaningrat beserta keluarganya hidup serba kekurangan.

Kemudian, para pengurus Indische Partij yaitu “TADO (Tot Aan De Onafhankelijkheid) Fonds”, menggalang dana untuk dapat memeberikan bantuan kepada Ki Hadjar Dewantara.

Untuk mendapatkan tambahan penghasilan, Ki Hadjar Dewantara terjun menjadi jurnalis di harian “Het Volk”, Redaktur “Hindia Poetera”, majalah “Indische Vereeniging”, mingguan “De Indier”, majalah “Indische Partij”, majalah “Het Indonesisch Verbond van Studeerenden”.

Haisl berkecimpung Ki Hadjar Dewantara dalam pergerakan Pers yang menjadikan kesadaran berpolitiknya berkembang.

Baca Juga: Tayang Perdana! Ini Dia Drakor yang Dibintagi Sooyoung dan Yuri Girls Generation

Dunia jurnalistik yang ditekuni Soewardi Soerjaningrat telah membawanya ke ranah pergaulan yang lebih luas dan progresif.

Ki Hadjar Dewantara mendapatkan kesempatan mengutarakan berbagai pemikiran dan persoalan yang dihadapi bangsanya.

Tulisan-tulisan di berbagai surat kabar, majalah, dan brosur menjadi suluh bagi bangsanya yang sedang dirundung kegelapan.

Ki Hadjar Dewantara mendirikan Kantor Berita “Indonesisch Persbureau” (IPB) yang merupakan badan pemusatan penerangan dan propaganda pergerakan nasional Indonesia di Den Haag (September 1918).

Baca Juga: Ramalan Horoskop Cinta Bulanan, Mei 2021: Aries Mengingat yang Terlupakan, Gemini Ada Banyak Hal Terjadi

Hal itu menjadi hal baru untuk pertama kalinya nama “Indonesia” dipakai di suratkabar negeri Belanda.

Tak hanya itu, Ki Hadjar Dewantara dikenal aktif belajar seni teater atau drama, dari Herman Kloppers sekaligus memperdalam kepiawaiannya dalam seni budaya.***

Editor: Tita Salsabila

Tags

Terkini

Terpopuler