Soal Mosi Tidak Percaya saat Demo Omnibus Law, PDIP: DPR yang Berhak Nyatakan, Bukan Publik

- 15 Oktober 2020, 11:57 WIB
Mosi tidak percaya ramai di media sosial usai pengesahan UU Cipta Kerja.
Mosi tidak percaya ramai di media sosial usai pengesahan UU Cipta Kerja. / Twitter/@LBHYogya

PR CIREBON – Jargon kalimat 'Mosi Tidak Percaya' yang diserukan pengunjuk rasa dalam aksi menolak UU Ciptaker sebelumnya dinilai tidak akan berlaku di Indonesia.

Pasalnya, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, sedangkan mosi tidak percaya berlaku di negara dengan sistem pemerintahan parlementer.

Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin, seorang Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, mengungkapkan bahwa yang berhak menyatakan mosi tidak percaya adalah DPR secara politik kepada kebijakan pemerintah, bukan dari publik.

Baca Juga: Tekan Laju Penyebaran Covid-19, Satgas BUMN Berbagi 45 Ribu Masker Bagi Warga Jakarta

Hal itu sesuai dengan hak-hak DPR pasal 77 ayat 1 UU 27/2009 yakni interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

"Mosi tidak percaya merupakan dari hak DPR untuk menyatakan pendapatnya atas ketidakpercayaan kepada pemerintah," kata Hasanuddin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Kamis 15 Oktober 2020 yang dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com.

Politisi PDIP ini juga menjelaskan, dengan konfigurasi koalisi partai politik saat ini proses pemakzulan presiden nyaris tak mungkin.

Baca Juga: Tanggapi Keluhan SBY Soal Tuduhan Dalang Demo Tolak UU Ciptaker, PDIP: Seharusnya Tidak Terpancing

Bila memang terjadi, ia mengatakan mekanismenya yaitu DPR harus menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam atau di luar negeri.

"Itu pun bila terdapat dugaan presiden dan/atau presiden melakukan pelanggaran hukum atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela sesuai UU MD3, pasal 79 ayat 4," tuturnya.

Lanjutnya, hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna.

Hasanuddin menegaskan, keputusan tersebut akan sah bila dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah itu menyetujuinya (UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3) .

Baca Juga: Waktunya Cek Merchant Baru ShopeePay Minggu Ini, Sebagai Referensi Makanan Hingga Kecantikan

Bila keputusannya disetujui, kata dia, maka wajib dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR (UU MD3, pasal 212 ayat 2).

"Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR," katanya.

Dia menegaskan keputusan DPR atas laporan Pansus dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir (UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4) .

Persetujuan DPR ini selanjutnya dilaporkan ke MK disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.

Baca Juga: Vaksin Bisa Dipesan Online, Sudah Ratusan Ribu Orang Tiongkok Memesan dalam Antrean

"MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (UU MD3, Pasal 215 ayat 1)," ucapnya.

Setelah itu, MPR lalu melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR.

Hasanuddin mengatakan keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir sesuai UU MD3, pasal 38 ayat 3.

Ia juga mengatakan, melihat komposisi koalisi fraksi -fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x