Jangan Menangis Indonesia

- 24 September 2022, 06:55 WIB
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengumumkan  hasil OTT terhadap Hakim Agung di Mahkamah Agung. /pikiran-rakyat.com
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengumumkan hasil OTT terhadap Hakim Agung di Mahkamah Agung. /pikiran-rakyat.com /

 

Oleh Imam Wahyudi *)

"Jangan Menangis Indonesia". Pesan Harry Roesli lewat karya ciptanya. Dirilis 1978, usai masa Perjuangan Mahasiswa 1977/78 di Bandung. Sejatinya mengritisi rezim orba yang dinilai otoriter.

Almarhum Harry Roesli (53 tahun, wafat 11 Desember 2004) membalikkan kritik dengan narasi harapan. "Janganlah menangis Indonesia," bunyi bait awal. Lirih. Hari-hari ini ratapan cucu legenda pujangga besar, Marah Roesli -- kembali terdengar. Menggelegar.

Peristiwa tragis yang membuat kita menangis. Seorang hakim agung yang nihil prilaku agung. Hakim Agung yang kehilangan akal sehat. Tak layak bernaung di tempat "agung" bernama Mahkamah Agung. Lembaga sakral kekuasaan kehakiman. Benteng terakhir dalam sistem peradilan di Indonesia. Kini runtuh seketika. Hakim agung itu dicokok KPK dan ditetapkan sebagai tersangka.

Harry Roesli tak sendiri pada masa-masa itu. Sastrawan kaliber WS Rendra (74 th, 1935-2009) lewat karya puisi dan drama. Tak kecuali sajak "Orang Kepanasan". Pun sederet pentas drama produksi Bengkel Teater yang diolahnya. Antara lain "Menunggu Godot", "Oidipus, Sang Raja", "Mas Todon & Burung Kondor" dan "Kisah Perjuangan Suku Naga". Drama sebagai perspektif kritis. Tak kecuali, Leo Kristi (68 th 1949-2017) tentang keadilan dan kehidupan sosial. Ada pula Ebiet G. Ade (67 th) yang kritis menyoal lingkungan dan duka derita. Tentu, sejumlah seniman lainnya masa itu.

Penulis sengaja mengangkat peran mereka dalam perubahan sistem berbangsa dan bernegara. Selebihnya dramawan Putu Wijaya (78 th) dan Arifin C. Noer (54 th, 1941-1995) lewat seni pentas dan film. Sebuah kemasan kritik secara _smooth_ yang sialnya, kerap diabaikan. Seolah tak bunyi, bagai "angin lalu" dibanding aksi unjuk rasa -- turun ke jalan.

Masa panjang menghadapi kekuasaan rezim yang kemudian baru tumbang pada 1998. Bersamaan Gerakan Reformasi. Sebuah penantian 20 tahun, setelah Perjuangan Mahasiswa 1977/78. Harry Roesli dkk kala itu, tak mudah beraksi frontal. Kecintaan dan harapannya, tertulis di akhir bait lagu: _Kami berjajar menjagamu, Negara..!!_

Tak seharusnya peran seniman diabaikan. Komunitas budaya ini senantiasa menyisipkan kritik sosial. Pesan sentral ke arah tata-kelola pemerintahan. Hakikatnya sama arah dan tujuan. Tentang berlangsungnya perubahan dan atau perbaikan sistem di berbagai sendi kehidupan. Pada gilirannya dalam koridor berdemokrasi.

Ketika pesan-pesan berbudaya dinomorduakan, terjadilah malapetaka. Bersahutan dan bersinambung. Tak gentar. Tak jera perkara penjara. Mafia peradilan, kian nyata menggila. Di gedung MA pula. Hampir pasti, ada yang salah. Bahkan dengan sadar dan sengaja. Penyalahgunaan kekuasaan. Apa makna? Lantas mau apa...??!! Sungguh, bagai kehabisan kata-kata. Yang tersisa, cuma "Jangan menangis Indonesia".***

Halaman:

Editor: Otang Fharyana

Sumber: Tulisan Opini


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x