Selain itu, Netty juga menyebut adanya dugaan moral hazard dalam pengelolaan anggaran pandemi triliunan rupiah yang seolah jadi bancakan untuk memperkaya diri dan kelompok, seperti dalam distribusi bansos, Kartu Prakerja, dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi kalau pemerintah menyebut telah mengendalikan krisis pandemi dan ekonomi dengan baik, menurut saya, ini asumsi-asumsi yang patut dipertanyakan kebenarannya,” ucapnya.
“Di mana letak keberhasilannya? Apa ukuran dan indikatornya? Sementara kasus Covid-19 di Indonesia kembali pecah rekor dan menjadi yang tertinggi di seluruh Asia Tenggara,” tambah Ketua Tim Covid-19 FPKS DPR RI ini.
“Angka positivity rate Covid-19 Indonesia mencapai persentase 33,24 persen, yang artinya lebih dari enam kali lipat dari angka 5 persen ambang batas minimal positivity rate yang ditetapkan oleh standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)” ucap Netty.
Dari sisi ekonomi, lanjut Netty, Indonesia sudah masuk jurang resesi pada kuartal III-2020. Realisasi laju perekonomian minus 3,49 persen, dimana sebelumnya sempat terperosok ke angka 5,32 persen.
“Jadi tolong dijelaskan, atas dalih apa jika pemerintah klaim telah terjadi keberhasilan pemulihan ekonomi?” tanya sang Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI.
Terakhir, Netty mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 ini adalah masalah serius yang penerapan kebijakannya harus tegas, konsisten dan tidak tebang pilih.
“Masuknya WN Tiongkok di tengah kebijakan penutupan akses oleh pemerintah hingga 8 Februari tentu membuat kita kaget dan tidak habis pikir. Apapun alasan pengecualiannya, kejadian tersebut berpotensi menjadi preseden buruk pemerintah di mata publik,” tuturnya.