Dari total impor tersebut, sebanyak 1,14 juta ton diantaranya berasal dari AS.
“Sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan atau neraca perdagangan,” ucapnya.
Baca Juga: Wakil Dekan Unpad Dicopot Jabatannya, Fadjroel Rachman: HTI Ormas Terlarang
Lebih lanjut, Nevi mengatakan, tentunya, hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor.
“Pada tahun 1992 kita pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun,” pesan Nevi.
“Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kedelai,” ujarnya.
Baca Juga: Eks Jubir Jokowi-Maruf Bongkar 4 Borok FPI ke Fadli Zon: Puluhan Anggota Terbukti Teroris
Meredanya perang dagang antara AS dan Tiongkok diduga menjadi faktor penyebab kenaikan harga kedelai.
Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada AS, menjadi terdampak ketika Tiongkok memborong kedelai dari AS.
“Momentum baiknya, hubungan dagang AS-Tiongkok yang berakibat pada kenaikan harga kedelai harus dimanfaatkan Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri,” tambahnya.