Mahfud MD: Pilkada 2020 Adalah Proses Eksperimentasi Dinamika, Selalu Berubah-ubah

15 Oktober 2020, 09:58 WIB
Menkopolhukam Mahfud MD membagikan bocoran informasi intelijen. /RRI

PR CIREBON - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum Dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui proses eksperimentasi yang selalu berubah dengan segala dinamikanya.

Hal itu ia sampaikan saat menjadi “keynote speech” dalam konferensi nasional Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (KISIP) 1 yang digelar The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berlangsung secara daring, pada Rabu 14 Oktober 2020.

Mahfud menceritakan bahwa pilkada langsung seperti yang sekarang ini dinikmati masyarakat sebenarnya melewati proses yang panjang dan berliku.

Baca Juga: Sempat Tertular Positif Covid-19 dari Ayahnya, Baron Trump Sudah Negatif

Menurutnya, pernah ada satu massa saat tata hukum Indonesia belum tertib sehingga pelaksanaan pilkada berbeda-beda bergantung tempat dan waktu sehingga muncul UU Pemilihan Kediri, UU pemilihan Klaten, dan UU Pemilihan yogyakarta.

Semasa pemerintahan Bung Karno pernah ada UU Nomor 1/1957 yang isinya memisahkan kepala daerah dengan kepala wilayah.

“Kepala daerah adalah pengemban otonomi daerah dan dipilih langsung oleh rakyat. Sama seperti sekarang. Namun, sebelum UU itu diimplementasikan, terjadi pergantian rezim  Orde Lama ke Orde Baru,” katanya, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara.

Baca Juga: Banyak Rumor Vaksin Covid-19, Youtube Tindak Tegas Hapus Video Tak Sesuai

Pada masa Orde Baru, lanjutnya, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meski dalam praktiknya yang menentukan sosok kepala daerah adalah ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar).

“Ada stabilitas, tetapi dianggap tidak demokratis karena penentu-nya itu-itu saja, yakni ABG; ABRI, birokrasi, dan Golkar. Meskipun, formal-nya lewat DPRD. Itu menjadi sistem politik dan ambruk saat reformasi 1998,” tuturnya.

Lanjutnya, memasuki Orde Reformasi, DPRD memiliki kekuasaan yang luas, yakni berhak memilih kepala daerah secara final, serta berhak mengevaluasi dan menjatuhkan kepala daerah jika dianggap tidak bertanggung jawab.

Baca Juga: Ini Dia Top Go-To Merchant Baru ShopeePay yang Bermanfaat untuk Kamu!

Dalam praktiknya, ternyata sistem itu melahirkan praktik politik uang karena partai bisa melakukan jual beli kursi terhadap calon kepala daerah.

Sistem pilkada kemudian diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang ini, kata dia, meskipun dalam praktiknya tetap ada plus dan minusnya.

Mahfud mencontohkan, sisi negatifnya banyak yang menunggu “serangan fajar” dari paslon, adanya penyalahgunaan jabatan, dan sebagainya.

Baca Juga: Kritik Ancaman DO Kadin ke Pelajar Ikut Demo Tolak UU Omnibus Law, KPAI: Bukan Kebijakan Tepat

Akan tetapi, lanjutnya, banyak juga sisi positifnya, seperti partisipasi rakyat dalam pemilihan semakin bagus dan rakyat memilih hak sepenuhnya sebagai pemilih.

Kemudian, ideologi tidak lagi tersekat-sekat, seandainya terjadi polarisasi kekuasaan di pusat antara koalisi dan oposisi tidak akan berimbas langsung ke daerah dengan pola yang sama.

Karena itu, Mahfud mengajak seluruh pihak untuk terus menyempurnakan sistem pelaksanaan Pilkada agar semakin bagus dan berkualitas dalam jangka panjang.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Antara News

Tags

Terkini

Terpopuler