Mengenal Sosok Pierre Tendean, Ajudan Tampan yang Gugur karena PKI dan Jadi Pahlawan Revolusi

30 September 2020, 15:16 WIB
Pierre Tendean /

PR CIREBON - Mengenang peristiwa G30S PKI tidak luput dari sosok perwira muda yang tampan, yaitu Kapten (Anumerta) Pierre Andreas Tendean atau biasa dikenal dengan Kapten Tendean.

Kapten Tendean yang dikenal sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution, menjadi salah satu dari tujuh perwira tinggi TNI AD yang menjadi korban dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang dilakukan oleh PKI.

Tendean lahir di Batavia, 21 Februari 1939, ia merupakan putra dari pasangan Aurelius Lammert Tendean dari suku Minahasa dan Maria Elizabet Cornet, perempuan berdarah Perancis Kaukasian. Namun, ia tumbuh sebagai seorang jawa medok, karena pada 1950 keluarganya pindah ke Semarang, Jawa Tengah, di mana sang ayah menjadi dokter spesialis jiwa menjadi pimpinan Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang.

Baca Juga: Terawan Dipermalukan Usai Tak Penuhi Undangan Najwa Shihab, PKPI: Acara TV Bukanlah Kewajiban

Dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI, Pada 1958, Tendean memutuskan untuk masuk militer, meski keluarganya menginginkan ia untuk berkuliah di ITB. Hingga akhirnya, Tendean meniti ilmu sebagai prajurit TNI di Atekad.

Tendean termasuk siswa yang populer, karena saat itu dirinya menjabat sebagai komandan taruna Atekad. Pierre Tendean dan Efendi Ritonga adalah taruna Akademi Teknik AD (Atekad) lulusan tahun 1961. Meski populer, Tendean sering mendapatkan pelecehan verbal karena paras Indonesianya.

Setelah lulus dari Atekad pada 1963, Tendean ditempatkan di Medan, bertugas di satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan. Tendean kemudian bertemu dengan tambatan hatinya, Rukimini Chamin (Mimin), gadis Medan keturunan Jawa.

Baca Juga: Pemerintah Tak Tetapkan Benar dan Salah Soal Sejarah PKI, Mahfud MD: Itu Urusan Ilmu

Pada pertengahan tahun 1963, Tendean kembali bersekolah di Bogor. Bersama beberapa rekannya, Tendean mengikuti pelatihan intelijen di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel). Tendean dipersiapkan untuk operasi khusus, salah satunya mengawal Menteri Oei Tjoe Tat ke Malaysia.

Setelah misi intelijen dalam Operasi Dwikora ganyang Malaysia, Tendean mendapat penugasan baru, sekaligus yang terakhir dalam hidupnya. Pada April 1965, Tendean dipercaya menjadi ajudan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pangkatnya naik menjadi letnan satu dan tergolong ajudan termuda. Dari garis ibunya, Tendean masih berkerabat dengan Johana Sunarti Gondokusumo, istri Nasution.

Dalam pekerjaan sehari-hari mengawal Nasution, Tendean kerap jadi pusat perhatian karena ketampanannya. Apabila Nasution diundang sebagai pembicara dalam seminar atau konferensi, sosok Tendean selalu menjadi sorotan dari kaum hawa. Dari sinilah kemudian terkenal istilah, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.”

Baca Juga: Gaung PKI Usik Putra Mendiang DN Aidit, Ilham: KAMI, Jika Mau Maju Pilpres 2024, Jangan Jualan Isu

Malam 1 Oktober 1965 menjadi hari pengabdian terakhir Tendean bagi keluarga Nasution, di mana ia menjadi korban saat pasukan Tjakrabirawa hendak meringkus Nasution. Saat itu, Tendean keluar dari paviliumnya untuk mengatasi kegaduhan dari pasukan-pasukan yang menyatroni kediaman Nasution.

Pasukan yang hendak menangkap Nasution, menyangkan Tendean sebagai Nasution hingga membawanya ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Ia menjadi salah satu korban pembunuhan G30S PKI pada 30 September 1965 bersama enam perwira tingga lainnya, lalu mereka yang gugur dijuluki sebagai Pahlawan Revolusi.***

 

Editor: Nur Annisa

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler