Temukan Kejanggalan Program Kemendikbud, NU dan Muhammadiyah Sepakat Keluar

24 Juli 2020, 08:31 WIB
Logo Kemendikbud /Doc Logo Kemendikbud

PR CIREBON - Belum lama ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat Program Organisasi Penggerak (POP) dengan nilai anggaran Rp657 miliar, tetapi program itu justru menuai kontroversi karena dua organisasi besar Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memutuskan untuk keluar dari program tersebut

Dimulai dari Muhammadiyah yang menilai adanya dua hal yang janggal dalam penetapan peserta POP ini, sekaligus memprotes adanya dua perusahaan besar yang turut ikut menerima bantuan tersebut.

"Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah," ungkap Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasiyarno dalam pernyataan yang dikutip dari RRI pada Rabu, 22 Juli 2020.

Baca Juga: Fakta Menarik Kim Junkyu, Visual TREASURE yang Dijuluki Koala Tampan dan 'Meme King'

Adapun dua perusahaan tersebut adalah Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation yang masuk dalam POP untuk kategori gajah atau dengan dukungan dana bantuan Rp 20 miliar per tahun dari pemerintah.

Sebagai informasi, POP dijalankan dengan tiga kategori meliputi, Gajah, Macan dan Kijang yang masing-masing memiliki persyaratan khusus.

Dalam detailnya, kategori Gajah menjadi yang karena memiliki sasaran target minimal 100 PAUD/SD/SMP dengan dana sebesar Rp20 miliar/tahun/program, sehingga organisasi yang mendaftar harus memiliki bukti empiris, tidak hanya pada dampak program terhadap hasil belajar siswa, tetapi juga dampak positif terhadap peningkatan motivasi, kinerja dan praktik mengajar dari para guru.

Baca Juga: Rusia Miliki 2 Senjata Nuklir 'Hari Kiamat', AS Langsung 'Ciut' Minta Moscow Tangguhkan Pengembangan

Sedangkan kategori Macan memiliki target minimal 21-100 Paud/SD/SMP dengan dukungan dana Rp5 miliar/tahun/program, sehingga organisasi yang ingin mendaftar tidak harus sampai pada evaluasi dampak hasil belajar, tetapi minimal memiliki dampak empiris terhadap peningkatan profesional para guru baik pendidikan inovasi, kreativitas dan praktik kinerjanya.

Kemudian, kategori terakhir Kijang memiliki target 5-10 PAUD/SD/SMP dengan dukungan dana Rp 1 miliar/tahun/program, sehingga program ini hanya diperuntukkan bagi organisasi baru yang terbukti mampu merancang dan mengimplementasikan program dengan baik.

Atas dasar kriteria itu, Kasiyarno menilai adanya ketidaksesuaian karena Muhammadiyah telah memiliki 30.000 satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Ditambah lagi, Persyarikatan Muhammadiyah juga sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka.

Baca Juga: Peringatan NASA Besok Harus Diwaspadai, Asteroid Serupa Erupsi Gunung Krakatau 1883 Lintasi Bumi

"Sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemdikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020," jelasnya seperti dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News.

Namun demikian, Muhammadiyah memastikan akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dan kompetensi kepala sekolah dan guru melalui program-program, tanpa keikutsertaan dalam POP itu.

Di sisi lain, Lembaga Pendidikan Maarif NU juga memutuskan mundur dari program POP karena merasa adanya kejanggalan dalam proses administrasinya, seperti yang disampaikan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU, Arifin Junaidi.

Baca Juga: Berpotensi Jadi Capres Lagi, Elektabilitas Prabowo Masih Lemah hingga Gerindra Tak Terima

Tepatnya, Arifin menilai program POP sudah ada kejanggalan dari awal karena NU dimintai proposal dua hari sebelum penutupan program tersebut.

"Kami nyatakan tidak bisa bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami diminta ajukan saja syarat-sayarat menyusul. Tanggal 5 Maret lewat website mereka dinyatakan proposal kami ditolak," ungkap Arifin pada Rabu, 22 Juli 2020.

Hanya saja, saat itu pihak Kemendikbud kembali menghubungi Lembaga Pendidikan Maarif NU untuk meminta melengkapi persyaratan dengan merujuk pada badan hukum dari Lembaga Pendidikan Maarif NU yang masih memakai badan hukum NU.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Ma'ruf Amin Minta Guru Honorer Maklumi Gaji Kecil dengan Imbalan Surga?

"Kami menolak dan kami jelaskan badan hukum kami NU," tegasnya.

Kejanggalan pun berlanjut dengan Kemendikbud kembali meminta surat kuasa dari PBNU, meski syarat tersebut tidak sesuai dengan AD/ART.

"Kami terus didesak, akhirnya kami minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir," ujarnya.

Hingga puncaknya 22 Juli 2020 kemarin, Arifin mendadak dihubungi Kemendikbud untuk mengikuti rapat koordinasi, meski NU saat itu belum ada surat keterangan penetapan program Kemendikbud itu.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Megawati Tak Berhak Bicarakan Pancasila karena Hanya Anak Pungut Soekarno ?

"Tadi pagi kami dihubungi untuk ikut rakor pagi tadi, saya tanya rakor apa dijawab rakor POP, saya jawab belum dapat SK penetapan penerima POP dan undangan, dari sumber lain kami dapat daftar penerima POP, ternyata banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP," jelas Arifin.

Padahal sampai saat ini, Lembaga Pendidikan Maarif NU berfokus menangani pelatihan kepala sekolah dan kepala madrasah 15 persen dari total 21.000 sekolah/madrasah, sehingga mereka memastikan tetap melaksanakan program penggerak secara mandiri tanpa keikutsertaan POP tersebut.

"Meski kami tidak ikut POP kami tetap melaksanakan progran penggerak secara mandiri," tutup Arifin.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: RRI Antara News

Tags

Terkini

Terpopuler