Tanggapi Drama Pilpres AS, SBY: Demokrasi Tidaklah Sempurna

20 Januari 2021, 16:10 WIB
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) singgung Donald Trump dalam cuitan di Twitter terkait pemilu AS. /Instagram @sb.yudhoyono dan Pxabay/Altman

PR CIREBON - Presiden Republik Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menannggapi soal drama Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) yang pernah memanas dan menyinggung soal demokrasi.

Drama Pilpres AS antara Trump dan Biden kini berakhir dengan dilantiknya pemenang presiden asal Demokrat Joe Biden dan Kamala Haris sebagai wakil presiden tepat pada hari Rabu, 20 januari 2021 dan menarik perhatian SBY.

Dalam tulisan yang unggahan melalui akun Twitter pribadinya, SBY mengatakan bahwa dalam drama Pilpres AS saat ini terdapat delapan poin yang bisa dipetik dan dijadikan sebagai pelajaran.

Baca Juga: Pimpinan Senat AS Mitch McConnell Sebut Donald Trump Provokator Kerusuhan di Capitol

“Pertama, sistem demokrasi tidaklah sempurna, terutama implementasinya. Ada wajah baik dan wajah buruk dalam demokrasi. Namun, tidak berarti sistem otoritarian dan oligarki lebih baik,” tutur SBY, dikutip Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari Twitter @SBYudhoyono.

Kedua, kata SBY, di era post-truth politics, ucapan pemimpin (presiden) harus benar dan jujur. Kalau tidak, dampaknya sangat besar. Ucapan Trump bahwa pilpresnya curang (suaranya dicuri) timbulkan kemarahan besar pendukungnya,

Hal itulah, yang membuat terjadinya serbuan ke Gedung Capitol Hill, hingga menewaskan 5 orang yang akhirnya mencoreng nama baik AS.

“Ketiga, ‘post-truth politics’ (politik yang tidak berlandaskan pada fakta), termasuk kebohongan yang sistematis dan berulang, pada akhirnya akan gagal," tulisnya.

"Pemimpin akan kehilangan ‘trust’ dari rakyatnya, karena mereka bisa bedakan mana yang benar (faktual) dengan yang bohong (tidak faktual),” lanjutnya.

Baca Juga: Kasihan dengan Rombongan Mensos Tri Rismaharini, Roy Suryo: Tidak Usah sampai Ditulis Begitu

Sementara itu, poin keempat, SBY mengatakan bahwa setiap pemilu akan selalu ada yang menang, ada yang kalah.

Meskipun berat dan menyakitkan, siapapun yang kalah wajib terima kekalahan dan ucapkan selamat kepada yang menang.

“Itulah tradisi politik dan norma demokrasi yang baik. Sayangnya, sebagai champions of democracy, ini tidak terjadi di AS sekarang,” imbuhnya.

Kelima, sambungnya, pergantian kekuasaan yang damai (smooth dan peaceful) kali ini tak terjadi di AS. Transisi kekuasaan dibarengi luka, kebencian dan permusuhan.

Menurutnya hal ini merupakan petaka bagi AS yang politiknya terbelah (deeply divided). Energi Biden bisa habis untuk satukan AS hadapi tantangan ke depan.

Baca Juga: Spesial untuk Aeri, Baekhyun EXO Rilis Album Solo Jepang Tentang Cinta

“Keenam, jelang pelantikan Biden, Washington DC mencekam, banyak barikade dan dalam pengamanan ketat 25.000 tentara," katanya.

"Siapa ancamannya? Kali ini bukan musuh dari luar, seperti biasanya, tapi "teroris domestik". Ini titik gelap dalam sejarah AS. Juga warisan buruk yang ditinggalkan Trump,” sambungnya.

Adapun, poin ketujuh, setiap krisis selalu ada pahlawannya. SBY mengungkapkan bahwa dirinya menghargai sikap Wapres Mike Pence yang menunjukkan karakter kesatrianya dengan menerima hasil Pilpres yang lalu meskipun kalah.

“Dia tolak “perintah” Trump utk ubah hasil pemilu karena tak berdasar. Dia hormati konstitusi dan demokrasi,” ucapnya.

“Kedelapan, Pence bukan tipe yang haus kekuasaan. Dia tak memanfaatkan kesempatan untuk ambil alih kepemimpinan meskipun diminta secara resmi oleh DPR AS (sesuai amandemen ke-25 konstitusi AS).

Baca Juga: Bicara Penanganan Korupsi Bansos, Mardani Ali Sera: Di Indonesia Belum Ada Titik Terang

Menurutnya pence menolak hal tersebut, karena bukan itu yang terbaik bagi bangsa AS.

Sebagaimana diketahui, pilpres AS 2020 menjadi pilpres yang panas, mulai dari Donald Trump dan Joe Biden yang saling melontarkan hinaan secara terbuka.

Kemudian Trump menyebabkan kehebohan ketika dia secara prematur menyatakan dirinya sebagai pemenang pemilihan melalui Twitter-nya hanya beberapa jam setelah suara dihitung.

Di sisi lain, Trump juga menuntut agar penghitungan suara dihentikan karena Trump yakin banyak yang curang dalam perhitungan suara tersebut.

Puncaknya, Trump tidak mengakui kekalahannya dalam pemilihan sampai setelah para perusuh menyerbu Gedung Capitol sebagai protes dari Kongres yang saat itu mengukuhkan Joe Biden sebagai presiden terpilih AS pada Rabu, 6 Januari 2021.

 

***

Editor: Tita Salsabila

Tags

Terkini

Terpopuler