Perang Dagang AS-Tiongkok Diduga Jadi Faktor Harga Kedelai Naik, Nevi Zuairina: Momentum Baik

5 Januari 2021, 09:30 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina.* /Situs resmi dpr.go.id/Azka/Man

PR CIREBON - Melonjaknya harga kacang kedelai di awal tahun 2021, membuat sejumlah produsen tempe dan tahu kelimpungan.

Kenaikan harga kacang kedelai tentu tak hanya berdampak pada produsen, namun juga berimbas kepada para pedagang yang menggunakan bahan baku tempe dan tahu untuk dagangannya.

Bahkan melonjaknya harga kacang kedelai membuat para pedagang tempe dan tahu di sejumlah pasar sepakat melakukan aksi mogok.

Baca Juga: Pastikan Penerima Tidak Ada Potongan, Jokowi Minta Menteri dan Gubernur Kawal Penyaluran Bansos

Adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir sebesar 50 persen membuat para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani.

Menanggapi kenaikan tersebut, Nevi Zuairina, Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, mengatakan adanya kenaikan harga kedelai yang hampir mencapai 50 persen menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021.

“Jika harga kedelai naik, maka harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik. Dengan begitu kenaikan harga kedelai akan menimbulkan efek berganda, mengingat para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual,” tutur Anggota Komisi VI, dikutip Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari laman Fraksi PKS.

Baca Juga: Jelang Vaksinasi Tahap Awal, 1,2 Juta Vaksin Sinovac Telah Kantongi Sertifikat Lulus Uji Lot Release

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp7,52 triliun (dengan menggunakan kurs Rp 14.700).

Dari total impor tersebut, sebanyak 1,14 juta ton diantaranya berasal dari AS.

“Sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan atau neraca perdagangan,” ucapnya.

Baca Juga: Wakil Dekan Unpad Dicopot Jabatannya, Fadjroel Rachman: HTI Ormas Terlarang

Lebih lanjut, Nevi mengatakan, tentunya, hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor.

“Pada tahun 1992 kita pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun,” pesan Nevi.

“Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kedelai,” ujarnya.

Baca Juga: Eks Jubir Jokowi-Maruf Bongkar 4 Borok FPI ke Fadli Zon: Puluhan Anggota Terbukti Teroris

Meredanya perang dagang antara AS dan Tiongkok diduga menjadi faktor penyebab kenaikan harga kedelai.

Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada AS, menjadi terdampak ketika Tiongkok memborong kedelai dari AS.

“Momentum baiknya, hubungan dagang AS-Tiongkok yang berakibat pada kenaikan harga kedelai harus dimanfaatkan Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri,” tambahnya.

Baca Juga: Kabarkan Kondisi Terkini Syekh Ali Jaber, Arie Untung Mohon Doa Kesembuhan

Nevi menambahkan pemerintah juga harus dapat memperbaiki tata niaga kedelai dalam negeri.

“Selain itu dibutuhkan kolaborasi aktif antara Kementerian dan Lembaga terkait serta melibatkan pelaku industri dan UMKM agar dapat menciptakan stabilitas harga kedelai,” imbuh Nevi.

“Melonjaknya harga kedelai juga dapat meresahkan pedagang kecil. Karena nanti penjual gorengan tidak dapat menjual tahu dan tempe goreng, sehingga pendapatan mereka pun bisa berkurang,” pungkasnya.***

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: Fraksi.PKS.id

Tags

Terkini

Terpopuler