Politik Etis dalam Tata Ruang Tradisional Cirebon

- 27 Februari 2018, 05:45 WIB
WALI Kota Cirebon Nashrudin Azis menandatangani naskah perjanjian hibah barang milik negara aset eks Pertamina milik Kementerian Keuangan kepada Pemkot Cirebon di Ruang Adipura Kencana, Balai Kota Cirebon, Kamis, 24 Oktober 2019 sore. Pemerintah Kota Cirebon akhirnya secara resmi menerima hibah aset senilai sekitar Rp 1 triliun dari Kementrian Keuangan, berupa kompleks Stadion Bima di Kelurahan Sunyaragi, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon.
WALI Kota Cirebon Nashrudin Azis menandatangani naskah perjanjian hibah barang milik negara aset eks Pertamina milik Kementerian Keuangan kepada Pemkot Cirebon di Ruang Adipura Kencana, Balai Kota Cirebon, Kamis, 24 Oktober 2019 sore. Pemerintah Kota Cirebon akhirnya secara resmi menerima hibah aset senilai sekitar Rp 1 triliun dari Kementrian Keuangan, berupa kompleks Stadion Bima di Kelurahan Sunyaragi, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon. /

Kawasan Pendopo Kabupaten Cirebon dirancang sebagai pusat pemerintahan pribumi sebagai realisasi politik desentralisasi pemerintahan di Hindia Belanda awal Abad XX. Kawasan tersebut dirancang dengan mempertimbangkan seni bina kota yang menyinergikan konsep, struktur, serta elemen-elemen pengaruh sistem pemerintahan modern barat dengan pemerintahan tradisi adat setempat yang dilandasi semangat ”politik etis” yang popular saat itu.

Politik etis mengusung tiga kebijakan pemerintahan berkaitan dengan edukasi (pendidikan), emigrasi (perpindahan penduduk), dan irigasi atau sistem pengairan. 

Sementara itu, mengenai pembentukan Cirebon sebagai sebuah kabupaten yang pada masa itu disebut Regentschap tertuang dalam staatsblaad dan terakhir Stbl 1862  No 54 tanggal 24 Mei 1862 meliputi wilayah Palimanan, Cirebon dan luar kota, Sindanglaut, Losari, Plumbon, Mandirancan, Beber, dan Gegesik Lor. Dari catatan Risalah Hari Lahirnya Kabupaten Cirebon, saat itu pemerintahan regent atau kabupaten, hanya merupakan tongkat perpanjangan pelaksana pemerintah pusat di  daerah, tidak berfungsi sebagai suatu daerah yang berpemerintahan sendiri.

Bupati Cirebon pertama, yang lebih dikenal dengan julukan ”Dipati Inggris”adalah Raden Adipati Jaya Miruda. Selanjutnya RT Dende Negara, anak Raden Adipati Jaya Miruda, yang merupakan Bupati Majalengka yang pertama pada 8 April 1840 sudah menjadi Bupati Cirebon dan kemudian namanya diubah menjadi Raden Adipati Suradiningrat. Baru pada tahun 1925 diadakan perubahan dengan memberikan hak otonomi kepada pemerintahan kabupaten di Jawa dan Madura. Khusus penunjukan Kabupaten Cirebon sebagai daerah pemerintahan yang berdiri sendiri, ditetapkan dalam Stb 1925 No 393 (ibid).

Sesuai dengan fungsinya, alun-alun sebagai ruang rakyat memberikan peluang untuk berkumpulnya rakyat untuk menyampaikan aspirasi.  Penyampaian aspirasi yang biasanya dilakukan kalangan petani itu menyangkut ketidakadilan, seperti penyerobotan tanah, pemaksanaan pajak dan masalah-masalah lain.

Hanya sedikit orang yang tahu, apa itu ”hak pèpè”?  Hak itu sebenarnya telah melekat secara tradisional sejak kerajaan-kerajaan ada di Nusa Jawa. ”Hak pèpè” merupakan hak berjemur diri di tengah lapangan (alun-alun) untuk memrotes tindakan pemerintah yang dinilainya merugikan mereka. Pèpè yang berarti berjemur diri merupakan hak rakyat yang dikenalkan pakar hukum Adnan Buyung Nasution pada masa rezim Orde Baru. 

Berkaitan dengan ”hak pèpè”  itu, maka tata ruang tradisional dibangun kalangan raja-raja Cirebon yang diteruskan Mataram dan para Adipati sebagai satu kesatuan di antara lima komponen lainnya, seperti pendopo (ruang pemerintahan), masjid (ruang ibadah), alun-alun dan pohon beringinnya (ruang rakyat), pasar (ruang ekonomi), dan penjara (ruangan orang-orang hukuman).

Oleh karena itu, pendopo maupun kerajaan, termasuk sitihinggilnya seperti disebutkan di awal, selalu menghadap utara. Ini bisa dimaklumi, karena secara mistis oleh kalangan raja-raja Jawa, utara memiliki kekuatan magnet  yang mampu meneguhkan kekuasaannya. Dalam mistisime Jawa, seseorang diangkat menjadi raja karena adanya wahyu, pulung, dan rakyat.  Dengan demikian, rakyat merupakan kekuatan penting dalam diri seorang raja.

Di Alun-alun Kejaksan Cirebon ”hak pèpè” beberapa kali dilakukan masyarakat. Mereka memprotes pada tindakan oknum-oknum pemerintah yang sering kali menyerobot hak mereka. Hak ini mereka lakukan tanpa batas, sampai mati sekalipun. Namun, biasanya belum sehari tuntutan telah dipenuhi. Sang Adipati atau raja dengan diiringi para penggawanya mendatangi rakyat yang tengah berjemur diri itu. (Nurdin M Noer/Wartawan senior, pemerhati kebudayaan)***

Halaman:

Editor: Administrator


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x