Bangunan Art Deco di Cirebon, Menawan dan Dihancurkan

- 27 Februari 2018, 03:27 WIB
SEJUMLAH pekerja memeriksa panel proyek jembatan di Jalur Pantura Jakarta-Cirebon, Subang, Jawa Barat, Rabu, 9 Januari 2019. Jembatan tersebut digunakan untuk akses jalan ke pelabuhan Patimban dan ditargetkan selesai pada Mei 2019.*/ANTARA FOTO
SEJUMLAH pekerja memeriksa panel proyek jembatan di Jalur Pantura Jakarta-Cirebon, Subang, Jawa Barat, Rabu, 9 Januari 2019. Jembatan tersebut digunakan untuk akses jalan ke pelabuhan Patimban dan ditargetkan selesai pada Mei 2019.*/ANTARA FOTO /

Pertokoan modern

SELURUH masyarakat Cirebon dan sekitarnya pasti kenal Jln. Pasuketan, yakni daerah pertokoan modern yang ramai dan menajdi pusat jasa dan perdagangan. Di sepanjang jalan itu tak tersisa sedikit pun lahan untuk perumahan biasa. Dari Pasuketan hingga Pekiringan dan Pekalipan merupakan wilayah tersibuk dan terdapat di Kota Cirebon.

Sebenarnya daerah pecinan (China Town) yang awal terdapat di sepanjang Jalan Pecinan (sekarang) yang berdekatan dengan Keraton Keprabonan dan Kanoman. Tahun 1970-an di sepanjang Jalan Pecinan masih terdapat rumah-rumah khas etnis Tionghoa dengan ciri relief dua ekor naga yang bertolakbelakang pada bagian atap luar.

Sejak jalan itu diperlebar awal tahun 1980an ciri khas dua ekor naga tersebut dihilangkan. Apalagi dengan adanya peraturan yang rasis dari Pemerintah Orde Baru yang melarang memajang dan menggelar karya seni dari mancanegara, termasuk Tiongkok.

Pasuketan-Pekiringan-Pekalipan merupakan segitigas emas untuk bisnis kalangan etnis Tionghoa. Di sekitar daerah itu terdapat rumah ibadah mereka, berupa kelenteng maupun vihara. Sebut saja Kelenteng (Lithang) Talang (berbelahan dengan PT BAT) dan Vihara Welas Asih yang berhadapan dengan PT BAT.

Di bagian barat Pasar Kanoman terdapat vihara Balai Keselamatan. Di bagian timur terdapat Pasar Talang, yakni ”pasar dedean” yang menjajakan barang bekas. Istilah ”talang” sendiri diartikan sebagai ”talangan” atau pengganti sementara untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, nama ”Pasuketan” diduga berasal dari kata ”suket” yang berarti rumput. Pada masa kejayaan Kesultanan Cirebon, daerah tersebut dijadikan tempat atau gudang rumput (bahasa Cirebon = suket) hewan-hewan peliharaan kesultanan. Di sekitar itu terdapat pula masjid Jagabayan yang menurut pewarisnya (alm Abdul Qodir Wahab – saat masih hidup) merupakan pos penjagaan untuk kesultanan. Namanya juga ”Jagabayan” yang berarti menjaga bahaya atau serangan dari luar.

Bangunan-bangunan pertokoan di sepanjang Jalan Pasuketan sekitar tahun 1920-an sudah mencerminkan adanya pengaruh art deco dari Tiongkok. Lihat saja tiang-tiang besar penyangga bangunan sangat berbeda dengan tiang penyangga masa klasik kesultanan.

Pengaruh Tiongkok bisa dilihat dari tiang berbentuk persegi panjang, sedangkan pada masa klasik kesultanan Islam (baca Cirebon) berbentuk bulat panjang. Para rumah bangsawan keraton Cirebon saat ini masih tersisa di sekitar daerah tersebut.

Kini wajah modern kompleks Pasuketan tidak lagi menampakkan sisa arsitektur art deco China yang indah. Setelah sepanjang jalan itu diperlebar pada awal masa orde baru, yakni pada masa Wali Kota Tatang Suwardi. Dampak dari pelebaran jalan tersebut juga mengancurkan bangunan lama digantikan dengan bangunan modern. Kota Cirebon sejak itu berubah wajah secara total. (Nurdin M Noer/wartawan senior) ***

Halaman:

Editor: Administrator


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x