Bangunan Art Deco di Cirebon, Menawan dan Dihancurkan

- 27 Februari 2018, 03:27 WIB
SEJUMLAH pekerja memeriksa panel proyek jembatan di Jalur Pantura Jakarta-Cirebon, Subang, Jawa Barat, Rabu, 9 Januari 2019. Jembatan tersebut digunakan untuk akses jalan ke pelabuhan Patimban dan ditargetkan selesai pada Mei 2019.*/ANTARA FOTO
SEJUMLAH pekerja memeriksa panel proyek jembatan di Jalur Pantura Jakarta-Cirebon, Subang, Jawa Barat, Rabu, 9 Januari 2019. Jembatan tersebut digunakan untuk akses jalan ke pelabuhan Patimban dan ditargetkan selesai pada Mei 2019.*/ANTARA FOTO /

GAYA arsitektur art deco pernah dimiliki masyarakat Cirebon pada sekitar tahun 1880-an. Ini berarti gaya arsitektur tersebut melampaui selera orang-orang Eropa dan Amerika yang baru mengembangkannya pada sekira tahun 1920-an.

Art deco yang diartikan juga sebagai art decoration muncul sebagai sebuah jawaban terhadap jenuhnya model bangunan neoklasik. Sesuai dengan namanya, art deco sebenarnya memiliki corak yang sangat berbeda dengan gaya sebelumnya. Ia lebih bercorak dekoratif, mudah dinikmati dan diminimalisasi dari corak neoklasik yang kadang sulit dipahami oleh masyarakat awam.

Awalnya, art deco merupakan gaya populer yang berkembang dalam 1920-an hingga 1930-an. Gaya ini digunakan terutama dalam perancangan bangunan, mebeler, barang barang perhiasan, dan bagian dalam/pedalaman dekor.

Seni deco ditandai dengan wujud-wujud yang halus dan rapi, yang diefektifkan; pola-pola geometris; dan melakukan percobaan dengan bahan-bahan yang industri seperti batang-batang rel, plastik, dan gelas/kaca. Istilah art deco adalah suatu pemendekan ikon desain di Paris yang mendesain pameran pada sekitar 1925-an.

Pertunjukan Internasional Exposition Modern Industrial and Decorative Arts, yang membuat gaya tersebut selaras dan jelas (Encarta Reference Library 2006).

Encarta juga menjelaskan, art deco dengan cepat mendapat pengaruh di Amerika Serikat, yang pada masa itu tengah berada pada puncak prestasi arsitektur, terutama di Kota New York, seperti pembangunan pencakar langit 1920-an yang terlambat dibangun beberapa tahun dari rencana sebelumnya.

Di Cirebon, art deco rupanya telah melampaui lintas spectrum yang ada. Pengaruh arsitektur dari Tiongkok dan neo klasik Jawa memberikan warna paduan yang menawan.

Paling tidak ada tiga periodesasi perkembangan arsitektur di Cirebon, yakni pertama pada masa Islam (keraton, kuta kosod, Gua Sunyaragi, dan bangunan lainnya yang sezaman). Kedua, masa kolonialisme yang di dalamnya dikembangkan pengaruh art deco dari Eropa dan ketiga, masa modern yang dimulai pada pascakemerdekaan. 

Catatan kolektor foto-foto Djawa Tempo Doeloe, Priyambodo Prayitno, Hotel Canton atau nama awalnya rumah Karang Anom merupakan rumah yang dibangun Tan Tjin Kie, seorang konglomerat etnis Tionghoa Cirebon untuk putrinya Tan Holi Nio sebagai hadiah perkawinan. Setelah kematian Tan Tjin Kie 1913, rumah tersebut dialihkan kepemilikannya pada seorang Belanda dan berganti nama menjadi Hotel Canton.

Memasuki masa Orde Baru, rumah unik dan megah itu dijadikan Kantor Korem 063/SGJ. Lalu dibeli Pertamina UEP III dan terakhir pada masa Wali Kota Kumaedhi Syafrudin tahun 1989 ditukargulingkan dengan alasan untuk membangun Kota Cirebon ke arah pinggiran barat. 

Gedung eks Korem, begitu nama yang disebut dalam lidah masyarakat setempat, pernah dijadikan sebagai tempat rutin Pameran Pembangunan 1 Oktober memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Korpri juga pernah berkantor di rumah tersebut.

Halamannya yang luas, bisa dijadikan arena latihan bola basket dan bola voli. Sayang bangunan tersebut dihancurkan begitu saja tanpa tersisa sedikit pun bagian aslinya. Konon bangunan itu tidak termasuk yang dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya, karena memang undang-undang tersebut baru lahir tahun 1992. Sementara penghancuran terjadi pada tahun 1989. Konon Hotel Canton merupakan bentuk bangunan yang sangat langka di dunia.

Warisan

TAK dimungkiri bahwa sepanjang Jalan Yos Sudarso Cirebon dan sekitarnya merupakan daerah heritage (warisan) yang masih utuh. Model arsitektur empat zaman ada di sekitar daerah tersebut.

Dari mulai arsitektur masa Islam (keraton dan pengguron), neoklasik, masa kolonial (dengan art deco-nya) serta bangunan modern pascakemerdekaan. 

Perubahan mungkin saja terjadi, karena persoalan selera politik dan kemauan pemerintah jajahan saat itu. Seperti yang terjadi pada gedung Bank Indonesia yang semula bernuansa neoklasik, lantaran keinginan pemerintah Hindia Belanda berubahlah menjadi model bangunan yang sangat popular saat itu, yakni art deco.

Gedung pertama De Javasche Bank (DJB) dibangun pada sekira pertengahan tahun 1860an. Foto-foto koleksi masa lalu (Djawa Tempo Doeloe) mencerminkan kantor besar yang sederhana. Di depan kantor tampak sebuah dokar yang tengah menaikkan penumpang. Dokar saat itu merupakan kendaraan umum yang banyak digunakan masyarakat pribumi.

Kantor De Javasche Bank (DJB) Cabang Cirebon dibuka pada 31 Juli 1866 dan baru beroperasi tanggal 6 Agustus 1866 dengan nama Agentschap van De Javasche Bank te Cheribon. Pembukaan kantor cabang ini berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No 63 tanggal 31 Juli 1866 dan merupakan kantor cabang kelima.

Pertokoan modern

SELURUH masyarakat Cirebon dan sekitarnya pasti kenal Jln. Pasuketan, yakni daerah pertokoan modern yang ramai dan menajdi pusat jasa dan perdagangan. Di sepanjang jalan itu tak tersisa sedikit pun lahan untuk perumahan biasa. Dari Pasuketan hingga Pekiringan dan Pekalipan merupakan wilayah tersibuk dan terdapat di Kota Cirebon.

Sebenarnya daerah pecinan (China Town) yang awal terdapat di sepanjang Jalan Pecinan (sekarang) yang berdekatan dengan Keraton Keprabonan dan Kanoman. Tahun 1970-an di sepanjang Jalan Pecinan masih terdapat rumah-rumah khas etnis Tionghoa dengan ciri relief dua ekor naga yang bertolakbelakang pada bagian atap luar.

Sejak jalan itu diperlebar awal tahun 1980an ciri khas dua ekor naga tersebut dihilangkan. Apalagi dengan adanya peraturan yang rasis dari Pemerintah Orde Baru yang melarang memajang dan menggelar karya seni dari mancanegara, termasuk Tiongkok.

Pasuketan-Pekiringan-Pekalipan merupakan segitigas emas untuk bisnis kalangan etnis Tionghoa. Di sekitar daerah itu terdapat rumah ibadah mereka, berupa kelenteng maupun vihara. Sebut saja Kelenteng (Lithang) Talang (berbelahan dengan PT BAT) dan Vihara Welas Asih yang berhadapan dengan PT BAT.

Di bagian barat Pasar Kanoman terdapat vihara Balai Keselamatan. Di bagian timur terdapat Pasar Talang, yakni ”pasar dedean” yang menjajakan barang bekas. Istilah ”talang” sendiri diartikan sebagai ”talangan” atau pengganti sementara untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, nama ”Pasuketan” diduga berasal dari kata ”suket” yang berarti rumput. Pada masa kejayaan Kesultanan Cirebon, daerah tersebut dijadikan tempat atau gudang rumput (bahasa Cirebon = suket) hewan-hewan peliharaan kesultanan. Di sekitar itu terdapat pula masjid Jagabayan yang menurut pewarisnya (alm Abdul Qodir Wahab – saat masih hidup) merupakan pos penjagaan untuk kesultanan. Namanya juga ”Jagabayan” yang berarti menjaga bahaya atau serangan dari luar.

Bangunan-bangunan pertokoan di sepanjang Jalan Pasuketan sekitar tahun 1920-an sudah mencerminkan adanya pengaruh art deco dari Tiongkok. Lihat saja tiang-tiang besar penyangga bangunan sangat berbeda dengan tiang penyangga masa klasik kesultanan.

Pengaruh Tiongkok bisa dilihat dari tiang berbentuk persegi panjang, sedangkan pada masa klasik kesultanan Islam (baca Cirebon) berbentuk bulat panjang. Para rumah bangsawan keraton Cirebon saat ini masih tersisa di sekitar daerah tersebut.

Kini wajah modern kompleks Pasuketan tidak lagi menampakkan sisa arsitektur art deco China yang indah. Setelah sepanjang jalan itu diperlebar pada awal masa orde baru, yakni pada masa Wali Kota Tatang Suwardi. Dampak dari pelebaran jalan tersebut juga mengancurkan bangunan lama digantikan dengan bangunan modern. Kota Cirebon sejak itu berubah wajah secara total. (Nurdin M Noer/wartawan senior) ***

Editor: Administrator


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x