BMKG Sebut Sektor Ini akan Sangat Terpukul Dampak Lanjutan Kemarau Kering

2 November 2023, 20:26 WIB
Dampak kekeringan lanjutan bisa menerpa berbagai sektor, seperti kurangnya sumber daya air. /Cilacap update/pikiran-rakyat/

SABACIREBON - Badan Meteorologi Klimatologin dan Geofisika (BMKG) mengingatkan, dampak lanjutan kekeringan bisa memengaruhi sejumlah sektor di antaranya pertanian, sumber daya air,  kehutanan, perdagangan, energi, dan kesehatan.

Oleh karenanya, pemerintah di seluruh level diharapkan segera mengambil langkah mitigasi dan antisipasi terhadap dampak negatif yang terjadi.

Peringatan itu disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, tentang dampak lanjutan dari kombinasi El Nino dan IOD positif yang menjadi pemicu kekeringan di Indonesia, Kamis 2 November 2023.

Baca Juga: Gempa Retakkan Gedung Kantor Gubernur NTT Disusul Enam Kali Gempa Susulan

"Hingga Oktober dasarian II, 2023, El Nino moderate (+1.719) dan IOD positif (+2.014) masih bertahan. BMKG dan beberapa Pusat Iklim Dunia memprediksi El-Nino terus bertahan pada level moderat hingga periode Desember 2023-Januari-Februari 2024, sementara IOD Positif akan terus bertahan hingga akhir tahun 2023," ungkap Dwikorita dalam rapat bersama Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Republik Indonesia, baru-baru ini.

Dwikorita menjelaskan, dampak lanjutan kekeringan terhadap sektor pertanian berakibat produksi tanaman pangan terancam mengalami penurunan karena terganggunya siklus masa tanam, gagal panen, kurangnya ketahanan jenis tanaman atau penyebaran hama yang aktif pada kondisi kering.

Di sektor sumber daya air, situasi ini berakibat pada berkurangnya sumber daya air.

Baca Juga: Kapan El Nino atau Suhu Panas di Indonesia Berakhir? Ini Prediksi BMKG

Tidak berhenti sampai disitu, kata Dwikorita, di sektor perdagangan memicu lonjakan harga bahan pangan. Di sekor kehutanan mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan.Di sektor energi, situasi tersebut menekan jumlah produksi energi yang bersumber dari PLTA.

"Sedangkan di sektor ketahanan meningkatkan risiko kesehatan berkaitan dengan sanitasi dan ketersediaan air bersih untuk di konsumsi dan kebersihan. Bagi daerah yang mengalami karhutla, kondisi ini juga dapat berakibat pada polusi udara dan memicu terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)," ujarnya.

Sementara itu, Dwikorita menyebut bahwa sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami kondisi curah hujan sangat rendah pada Juli, Agustus, September, dan Oktober 2023. Meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian besar Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku, sebagian Maluku Utara dan sebagian Papua.

Baca Juga: Pengakuan Warga Majalengka Diterjang Suhu Panas Ekstrem, Sampai 5 Kali Mandi Masih Saja Terasa Panas

Hari tanpa hujan ekstrim

Berdasarkan pantauan BMKG, hingga pertengahan Oktober 2023, sebagian wilayah di Pulau Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali - Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi bagian selatan, Maluku serta Papua bagian selatan telah mengalami Hari Tanpa Hujan berturut-turut antara 21 - 60 hari.

Sedangkan, Hari Tanpa Hujan kategori Ekstrem Panjang dengan HTH lebih dari 60 hari terpantau terjadi di wilayah Lampung, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Kalteng, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Adapun HTH terpanjang tercatat selama 176 hari terjadi di Sumba Timur dan Rote Ndao - Nusa Tenggara Timur.

"Situasi ini harus menjadi perhatian kita bersama mengingat sebaran titik panas di Indonesia menunjukkan peningkatan terutama di daerah rawan karhutla. Pulau Kalimantan memiliki titik panas terbanyak dengan tingkat kepercayaan tinggi, diikuti oleh Sumatera bagian selatan, kepulauan Nusa Tenggara, dan Papua Selatan," tuturnya.

Dwikorita mengungkapkan, terdapat sejumlah strategi yang dapat diambil pemerintah sebagai upaya kesiap-siagaan yaitu, pertama menguatkan manajemen air yang efisien untuk memastikan pasokan air yang cukup untuk pertanian dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Kedua, menguatkan penyebaran informasi pedoman kepada petani untuk beradaptasi dengan perubahan pola musim dan memilih tanaman yang lebih tahan kekeringan.

Ketiga, menyelenggarakan program penyuluhan dan pelatihan untuk membantu masyarakat dalam mengadopsi praktik pertanian yang lebih tahan terhadap kondisi kekeringan.

Keempat, penguatan pengelolaan hutan dan lahan untuk mencegah kebakaran hutan yang dapat dipicu oleh cuaca kering. Kelima, program rehabilitasi ekosistem dan restorasi lahan yang terdegradasi akibat kekeringan atau kebakaran.

Sementara strategi keenam yaitu menyusun rencana kesiapsiagaan logistik untuk memastikan pasokan air bersih dan bahan makanan cukup terutama di wilayah yang rentan. Dan, ketujuh, melakukan kampanye kesadaran masyarakat tentang praktik konservasi air dan upaya pengurangan risiko bencana.***

Editor: Asep S. Bakrie

Sumber: BMKG

Tags

Terkini

Terpopuler