Oleh: Budhiana *)
LEWAT jam 11 siang matahari sudah tinggi. Proses penyembelihan hewan kurban di Kampung Waas berhenti sejenak. Belasan petani yang jeda bertani hari itu, menjadi sukarelawan panitia kurban Odesa.
Mereka diberi seragam, bekerja hanya diupah daging, dipimpin Toha Odik. Yang membuat saya kagum, mereka bekerja tidak banyak cakap, tidak saling tunjuk. Hanya suara golok dan kampak yang beradu dengan telenan karena memotong tulang.
Istri dan anak perempuan Toha dan beberapa ibu di dusun sibuk di dapur menyiapkan makanan. Tungku menyala, harum nasi menyelinap, wangi daging juga membuat semua orang lapar.
Beberapa menit sebelum dhuhur, istri dan anak Toha mengeluarkan nasi dan berbagai olahan daging.
"Taruang huelaaaa....!"
Saking seriusnya mereka bekerja, ajakan makan itu seperti tak mampu menghentikan mereka.
Akhirnya saya yang duluan makan. Saya mengambil nasi dan daging. Disusul adik-adik mahasiswa fasilitator Odesa yang sejak beberapa hari sebelumny sibuk rapat sampai malam mengatur pelaksanaan kurban di berbagai dusun.
Barulah belasan petani kemudian menyerbu hidangan itu. Luar biasa, dagingnya banyak, dan nasinya di piring menggunung, seperti gunung Krakatau. Gunungan karbohidrat! What a carboberg!
Makanan itu enak, tapi saya merasa ada yang kurang.