Baca Juga: Pimpinan Ponpes Al-Zaytun Buat Pernyataan Kontra Produktif, Begini Kata KH Maman Imanulhaq
Sebab, menurut dia, hal ini kelak menjadi modal penting bagi para santri untuk ikut dalam mempertahankan kemerdekaan negeri dari penjajah.
“Pondok pesantren Buntet juga menjadi basis penting laskar-laskar jihad seperti, barisan Hizbullah, Sabilillah, atau PETA ( Pembela Tanah Air), terutama ketika era setelah proklamasi 1945,” tuturnya.
Lalu ia mengatakan selain itu KH Abbas Buntet juga membentuk dua regu laskar santri yakni, Asybal dan Athfal.
“KH Abbas Buntet dikenal luas sebagai pejuang yang berani. Pada zaman revolusi, Belanda (NICA) yang membonceng sekutu ingin menjajah kembali Indonesia,” tuturnya.
Menjelang pertempuran 10 November 1945 itu, di Cirebon KH Abbas juga sudah mulai mobilisasi massa, terutama dari kalangan santri.
"Dia memberikan komando untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Dia ikut terjun dalam kancah perang besar ini. Orator ulung, Bung Tomo, bisa dikatakan anak didiknya dalam semangat perjuangan. KH Abbas Buntet ditunjuk menjadi komando Resolusi jihad oleh KH Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya di Rembang," tegasnya.
Ditilik ke belakang, peristiwa bersejarah tersebut merupakan efek dari Resolusi jihad yang digagas para kiai sebelumnya dalam pertemuan NU di Surabaya, pada Oktober 1945. KH Abbas juga turut menghadiri acara yang merumuskan fatwa jihad tersebut.