PR CIREBON - Gelombang demonstrasi yang terjadi terus menerus di Amerika Serikat (AS) sukses membuka mata dunia bahwa negara adidaya yang sering menjadi model demokrasi dunia, kini sudah terbongkar borok yang tersimpan selama ini.
Ini dimulai saat kabar kematian warga kulit hitam AS, George Floyd telah menyulut protes anti rasisme yang berujung kericuhan di sejumlah negara bagian AS.
Bahkan, kematian George Floyd juga memantik aksi unjuk rasa di sejumlah negara dunia, seperti Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Baca Juga: Jelang New Normal, PGRI Sebut 85 Persen Khawatirkan Anaknya untuk Kembali ke Sekolah
Sehingga, ini membawa satu kesimpulan bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki sistem demokrasi yang sempurna.
Melansir dari Antara News, hal itu diungkapkan Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah dalam tanggapannya mengenai gelombang demonstrasi anti rasisme di AS.
"Karena demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses yang harus dibangun terus menerus dan lintas generasi lewat program pembangunan yang terstruktur dan komprehensif," tambah Teuku Rezasyah dalam penjelasannya pada Minggu, 07 Juni 2020.
Baca Juga: 3 Krisis Hantui Pemerintahan Donald Trump, Partai Republik Pesimistis tentang Arah Negara
Dalam arti lain, demonstrasi besar-besaran yang melanda AS saat ini adalah dilema terbesar sejak 1945 silam. Apalagi, masyarakat dunia sudah lebih mafhum bahwa AS adalah model terbaik dari demokrasi dunia.
"Amerika Serikat yang sejak tahun 1945 menyebut dirinya sebagai adi kuasa dan model terbaik dari demokrasi, sehingga seringkali memaksakannya ke negara lain, saat ini menghadapi dilema," pungkas dia.