Inilah 3 Pengelolaan Konflik Benjamin Netanyahu Terhadap Politik Israel dan Palestina

21 Mei 2021, 19:52 WIB
PM Israel Benyamin Netanyahu//Mari simak bersama perihal tiga pengelolaan konflik Benjamin Netanyahu terhadap situasi politik Israel dan Palestina.* /Reuters/Ammar Awad

PR CIREBON - Asisten Direktur Pusat Hak Asasi Manusia dalam Konflik di Universitas London Timur Professor John Strawson, menuliskan karya tulis tentang politik Israel dan Palestina, serta keterkaitannya dengan Benjamin Netanyahu. 

Konflik yang berkepanjangan dan bertambahnya korban jiwa, mengharuskan terjadinya perdamaian antara Israel dan Palestina.

Namun, seorang politisi Israel dari berbagai faksi menganggap konflik Israel dengan Palestina tidak menemui titik terang.

Baca Juga: Gempa Bumi Magnitudo 6,2 Guncang Blitar Dinyatakan BMKG Tidak Berpotensi Tsunami, Warganet: Gede Banget

Hal yang seharusnya diselesaikan, tidak akan pernah dipenuhi dengan dalih kepentingan masing-masing.

Hubungan antara warga Palestina dan Israel, dan antara warga Israel keturunan Yahudi dan Palestina telah mencapai tahapan baru.

Dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari The Conversation, Professor John Strawson dari Universitas London Timur menuliskan bahwa apabila terdapat anggapan bahwa konflik ini bukan isu utama, dalam dunia politik Israel telah dihancurkan oleh adanya perselisihan, pada Jumat 21 Mei 2021.

Baca Juga: Diminta untuk Lakukan Penundaan atau Pembatalan, Anggota IOC Sebut Olimpiade Tokyo akan Tetap Digelar

John Strawson menyebutkan bahwa hal tersebut adalah tindakan penuh kekerasan antar komunitas di Yerusalem, Haifa, Lod, Jaffa dan kota-kota lain.

Kemudian, setiap kejadian menguak kebobrokan politikus Israel yang telah bertarung dalam empat pemilihan umum (pemilu) dalam dua tahun, yang menganggap konflik terjadi jauh dari mereka.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menganggap konflik ini sebagai masalah administrasi belaka.

Baca Juga: BMKG: Gempa 6,2 Magnitudo Guncang Blitar Jawa Timur

"Ia mencoba menyembunyikan keributan namun tidak pernah menanggapi aspirasi politik warga Palestina," tulis John Strawson.

Sementara itu, keberhasilan Netanyahu bertumpu pada kemampuan Dia membujuk lawan-lawan politiknya untuk melakukan hal yang sama.

Bahkan, pemimpin Muslim Israel Mansour Abbas, yang kini menjadi tokoh kunci dalam setiap pembentukan pemerintahan Israel, mengacuhkan konflik ini.

Baca Juga: BTS Ungkap Lagu Butter Dirilis untuk Membidik Grammy Award

Pemicu krisis terbaru adalah kejadian-kejadian di wilayah Yerusalem Timur yang diduduki.

Israel berupaya untuk mengusir keluarga-keluarga Palestina dari rumah mereka di daerah pinggiran Sheik Jarrah di Yerusalem Timur.

Ditambah lagi adanya tindakan provokatif aparat Israel selama Ramadan di Gerbang Damaskus dan Masjid al-Aqsa berdampak pada warga Palestina disana.

Baca Juga: Resep Bakso Ikan Khas Singapura Ala Chef Devina Hermawan, Sukses Tanpa Bahan Pengenyal!

Hal itu, karena dianggap membatasi bagi Israel terhadap wilayah-wilayah pendudukannya.

Sehingga, aparat Israel seringkali memprovokasi untuk memecah belah wilayah di Yerusalem.

1. Perebutan Kursi Parlemen Israel

Selain itu, kesuksesan kelompok sayap kanan yang memenangkan enam kursi parlemen Israel pada Maret silam, menyulut situasi dengan unjuk rasa di jalanan Yerusalem Timur dengan slogan seperti "Orang Arab Mati!".

Baca Juga: Krisdayanti Berbagi dengan Orang Sekitar, Maia Estianty: Mantap!

Saat konflik antar komunitas menyebar ke seluruh Israel, Hamas mulai meluncurkan roket-roket.

Dengan latar belakang semacam ini, upaya untuk membentuk pemerintahan secara diam-diam akan terjadi.

Sementara itu, diketahui Netanyahu gagal dan Presiden Israel Reuven Rivlin berpaling kepada para pemimpin Partai Yesh Atid.

Baca Juga: Zubairi Djoerban: Vaksin Covid-19 AstraZeneca Tak Boleh Digunakan Untuk Usia di Bawah 30 Tahun

Sementara Partai Yair Lapid, bersiap mencoba membentuk koalisi dengan partai-partai tengah, sayap kiri dan sayap kanan.

Ini merupakan sebuah kelompok yang disatukan hanya oleh niat menjadi oposisi bagi Netanyahu.

Selanjutnya, terdapat tokoh kunci dalam upaya ini adalah Naftali Bennett, seorang pemimpin partai sayap kanan kecil, bernama Yaminia.

Baca Juga: Disebut Netizen Jiplak Gaya Busana Aurel Hermansyah, Adelia Wilhelmina Justru Tanggapi denganJawaban Adem

Naftali Bennett merupakan rival lama Netanyahu dan sudah lama ingin menjadi perdana menteri.

Selanjutnya, Yair Lapid menawarkan Bennet sebuah kesepakatan mereka akan bergantian menjadi perdana menteri.

Terlepas dari sikap politik Bennet, Yesh Atid yang kelompok tengah, partai Buruh, dan Meretz mendukung kesepakatan itu.

Baca Juga: Perketat Disiplin Ideologis, Surat Kabar Korut Ungkap Prihatin pada Budaya 'Borjuis' dan 'Individualisme'

Pada 9 Mei, negosiasi berjalan baik dan ada spekulasi bahwa pemerintahan baru akan terbentuk dalam satu minggu.

Namun keesokan harinya, Hamas dan pejuang jihad Islam mulai menembakkan serangan roket ke Israel.

Dalam hitungan hari, Bennet mengumumkan bahwa situasi keamanan yang ada, membuat negosiasi tidak bisa dilakukan.

Baca Juga: Ramai Kabar Dugaan Kebocoran Data Pribadi Penduduk Indonesia, Kominfo Berikan Klarifikasi

Akhirnya untuk sementara kesepakatan usulan Yair Lapid hampir dipastikan gagal.

2. Tidak Ada Niat Ke Arah Damai

Pemerintahan alternatif bentukan Yair Lapid akan sangat mungkin melanjutkan kebijakan pengelolaan konflik Netanyahu.

Hal ini, telah menjadi kebijakan sebagian besar pemerintahan Israel selama 25 tahun.

Baca Juga: Film Maker Rushdi Sarraj Ceritakan Serangan Prajurit Israel terhadap Jurnalis dan Warga Sipil Palestina

Kepemimpinan Ehud Olmert dari Partai Kadima periode 2006-2009, pemimpin Israel selalu mengklaim tidak ada mitra untuk pembicaraan damai dari pihak Palestina.

Oleh karena itu, negosiasi pengelolaan konflik Netanyahu tidak bisa dilakukan.

Ehud Barak dari Partai Buruh mengklaim bahwa dia hanya pergi ke Kamp David yang diadakan Amerika Serikat AS pada 2000.

Baca Juga: Tangkap 9 Admin WhatsApp Antisipasi Provokator Mudik Lebaran, Polisi: Kami Tangkap Melalui Puluhan Grup

Saat itu, Ehud Barak dalam pembicaraan dengan AS untuk menyingkap Yasser Arafat sebagai teroris.

Ariel Sharon sebagai penerus Barak, menggunakan intifada kedua atau serangan Palestina pada 2000-2005, sebagai bukti bahwa negosiasi mustahil dilakukan.

Sementara itu, Ariel Sharon secara sepihak melepaskan diri dari Gaza pada 2005, namun menolak melakukan negosiasi serah terima kepada Otoritas Palestina.

Baca Juga: Andin dan Elsa Berseteru di Sinetron, Amanda Manopo dan Glenca Chysara Justru Bersahabat di Dunia Nyata

Hasilnya adalah keuntungan bagi Hamas, yang mengklaim bahwa Israel telah pergi akibat serangan dari mereka sendiri.

Hal ini, berlanjut menjadi kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif Palestina di tahun berikutnya.

Kemudian, Olmert melakukan negosiasi intensif dengan Presiden Otoritas Nasional Palestina Mahmoud Abbas, namun Abbas meninggalkan pembicaraan negosiasi.

Baca Juga: Akun Novel Baswedan dan Febri Diansyah Diretas, Bintang Emon: Kebayang Nggak Sih Mau Ngelawannya Gimana

Sementara itu, Netanyahu tidak pernah memiliki niat serius untuk menindaklanjuti sebuah masalah.

Pada masa jabatan pertama sebagai perdana menteri 1996-1998, Ia memiliki tugas untuk mengacaukan Perjanjian Oslo 1993-1995 dengan merendahkan harapan warga Palestina untuk dapat memiliki negara merdeka.

Oleh karena itu, sejak 2009, tidak ada negosiasi namun ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat Palestina.

Baca Juga: Ayah Lesti Kejora Dapat Kado Istimewa dari Rizky Billar di Hari Ulang Tahunnya: Rezeki Kita Alhamdulillah

Ditambah lagi dengan ancaman minimal untuk mengurangi sebagian wilayah pendudukan Palestina secara berkelanjutan.

Akhirnya, perdamaian bagi Netanyahu hanya dianggap karena tidak ada konflik bersenjata dan aksi terorisme, yang bukan berarti sebuah penyelesaian konflik.

Hal itu, sesuai dengan yang direncanakannya dalam Perjanjian Oslo.

Baca Juga: Spoiler Drakor So I Married an Anti Fan Episode 7: Hubungan Lee Geun Young dan Who Joon Semakin Dekat?

3. Konflik Terus Bergejolak

Harga yang harus dibayar akibat keengganan bertindak dalam masalah Palestina ini, terlihat dari masyarakat Israel yang rapuh dalam kelompok etnis yang saling berselisih.

Konflik atas masa depan wilayah-wilayah kependudukan, sebagai masa depan Israel itu sendiri bersifat politis namun dianggap tidak strategis.

Bagi Netanyahu, ini berarti mempertahankan keunggulan militer dan menangani ancaman teroris ketimbang mengakui adanya kebutuhan akomodasi politis antara dua pergerakan nasional.

Baca Juga: Ilhoon Eks Member BTOB Dituntut 4 Tahun Penjara Karena Kasus Narkoba yang Menjeratnya

Warga Palestina dan Israel berbagi lingkungan yang sama, terikat pada tanah dan ingin menegakkan hak mereka untuk menentukan nasibnya sendiri.

Meskipun, Netanyahu akan melakukan negosiasi gencatan senjata dengan Hamas, dia tidak akan melakukan pembicaraan politik dengan Palestina.

Kebijakan mengelola konflik seperti ini, hingga saat ini terbukti hanya akan memperdalam konflik.

Baca Juga: Jadi Sorotan Sejak Setahun Lalu, Pemilik Perusahaan Bernama Covid.inc Ini Berbagi Kisah Lucu

Setiap ronde pertikaian selesai, selalu ada lebih banyak korban tewas dan lebih banyak keluarga yang berduka, serta menimbulkan lebih banyak kebencian.

Ketegangan antara warga Yahudi dan Arab di Israel akan membekas pada masyarakat Israel untuk waktu yang lama.

Setidaknya, sejak 25 tahun terakhir, sedikit politikus Israel yang punya keberanian untuk menghadapi akar konflik Israel dengan Palestina.

Baca Juga: Cristiano Ronaldo Dipastikan Hengkang dari Juventus, Berikut 2 Klub yang Berpotensi Mendapatkannya

Perdana menteri Israel Yitzhak Rabin yang menandatangani Perjanjian Oslo pada September 1993, dirinya menengok kepada pihak Israel dan Palestina dan berkata, "Sudah cukup darah dan air mata," tutur Yitzhak Rabin

Namun, bagi Warga Gaza di Tepi Barat, dan Israel menantikan kapan waktu itu akan terealisasikan.***

Disclaimer: Artikel ini sebelumnya telah terbit di The Conversation pada 20 Mei 2021 dengan judul "Hal-hal yang Penting Kita Ketahui Tentang Politik Israel dan Masalah Palestina".

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler