Pupus Cita-cita karena Gas Air Mata

- 6 Oktober 2022, 20:05 WIB
Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Nurchahyanto sampaikan permintaan maaf soal tindakan personilnya di Stadion Kanjuruhan.
Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Nurchahyanto sampaikan permintaan maaf soal tindakan personilnya di Stadion Kanjuruhan. /Twitter/@Android_AK_47/

KEJUJURAN  itu satunya kata hati dengan perbuatan. Kejujuran tentang petaka Kanjuruhan. Kejujuran soal tragedi kemanusiaan. Kejujuran akan kondisi yang tidak sedang baik-baik saja.

Tapi  daratan Cina. Peristiwa tujuh pekan untuk "sterilkan" alun-alun demokrasi 1989 yang memangsa lebih dari 300 nyawa. Kanjuruhan cuma medan sepakbola. Mereka suporter, penonton yang tak bawa senjata. Tak seharusnya dihadapi senjata gas air mata. Jujurlah tentang warga yang bagai mati sia-sia.

Terbayang celoteh bocah akan cita-cita. "Kalau udah besar nanti, aku mau jadi tentara," katanya. "Aku pengen jadi dokter," sahut teman mainnya. Tak sedikit pula yang bercita-cita jadi guru. Sederhana penuh makna, demi harapan masa depan.

Baca Juga: Liga Champions: Erling Haaland Makin Gacor, Cetak Dua Gol saat Manchester City Gunduli Copenhagen 5-0

Tak terbayangkan, bocah baru berumur dua tahun 10 hari kehilangan cita-cita. Bernama Gibran Raka Elfano meninggal dalam dekapan sang ayah. Sesak nafas disergap gas air mata. Keduanya tak berdaya. Sebagian korban berusia remaja - dewasa, 20 - 30 tahun. Tertua di antara 131 orang korban, 45 tahun. Adalah Muchamad Arifin dan Iwan Junaedi.

Di antara mereka, remaja wanita. Audi Nesia Alfiari (12), Aisyah Najwa Aswinanti (14), Lala (14), Lilik, Ny (15), Citra Ayu Amilia (15), Tasyia (16), Anisa Qotija (16), Elisabeth Agustin (16). Sementara pria di bawah 17 tahun: Halkin Al-Mizan (13), Revano Prasetya (15), Ahmad Dani Safarudin (15), Muhammad Ubaidillah (15), Gabriel (16), Moh. Rizki Darmawan (16) dan Moch Hashfi Al-Wafi (16).

Baca Juga: Pemeran utama Teluh Darah, Mikha dan Deva Hadiri Upacara Pembukaan BIFF 2022, di Korsel

Andai dia anak kita. Andai anaknya kerabat kita. Andai pun anak tetangga. Atau sederet andai lainnya. Tak cukup duka cita dan belasungkawa. Tak cukup pula tentang siapa dan siapa yang harus bertanggungjawab. Kejujuran yang satu dengan lainnya di ujung sana. Menanti jawabnya.*** (iW)

Editor: Otang Fharyana

Sumber: Tulisan Opini


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x