UU Ciptaker Dianggap Rugikan Rakyat, Baleg DPR RI: UU ini Bicara Soal Kemudahan Buka Usaha

- 10 Oktober 2020, 13:20 WIB
Ilustrasi Omnibus Law
Ilustrasi Omnibus Law /

PR CIREBON – Polemik UU Cipta Kerja masih terus terjadi saat ini. Meskipun banyak yang menentang, ada beberapa pihak pula yang mendukung karena beberapa alasan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya, misalnya, menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja merupakan regulasi yang jauh lebih luas dari persoalan ketenagakerjaan dan diyakini memiliki manfaat terkait berbagai aspek terkait perekonomian nasional secara keseluruhan.

"UU Cipta Kerja bukanlah soal itu semata. UU ini bahkan bicara soal kemudahan orang berusaha dan membuka lapangan kerja di Tanah Air. UU ini juga bicara soal petani, masyarakat adat, UMKM, koperasi, hingga digitalisasi siaran," jelas Willy pada Sabtu, 10 Oktober 2020, dilansir Pikiranrakyat-Cirebon.com dari situs Antara.

Baca Juga: Kritisi UU Ciptaker dan Presiden Jokowi, Amien Rais: Kenapa Mereka Tuli dan Buta Terhadap Kebenaran?

Willy mengatakan bahwa semua hal tersebut seolah luput dari perhatian banyak kalangan karena tertelan isu relasi ketenagakerjaan.

Namun, Willy menyoroti besarnya gelombang penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja di berbagai daerah sebagai bagian dari dinamika bernegara dan berdemokrasi, karena menyampaikan aspirasi adalah hal yang biasa.

"Kenyataan tersebut justru menunjukkan terjaminnya hak konstitusional warga. Namun, narasi yang mencolok dari serangkaian gelombang aksi yang berlangsung sehari setelah disahkan, berfokus pada soal-soal relasi ketenagakerjaan dengan pengusaha," tuturnya.

Baca Juga: Foto dan Video Diduga 'Simpanan' Anggota DPR Seliweran di Twitter, Netizen: Bongkar Terus, Bun!

UU Cipta Kerja, diakui Willy, memberikan dukungan terhadap kemudahan berusaha dan investasi, dan dengan adanya Online Single Submission (OSS) sebagai upaya untuk meringkas dan mempercepat proses perizinan mengingat perizinan berusaha selalu berbasis risiko.

Menurutnya, persoalan tumpang-tindih peraturan, pungli, pemerasan, politisasi perizinan, dan berbagai masalah dalam hal perizinan, diharapkan bisa hilang dengan pengaturan demikian.

Selain itu, UU Cipta Kerja memastikan bahwa investasi tidak hanya dinikmati usaha-usaha besar, tetapi juga UMKM dan koperasi, begitu pula dengan kemudahan usaha bagi sektor riil dan sektor kerakyatan.

Baca Juga: Foto dan Video Diduga 'Simpanan' Anggota DPR Seliweran di Twitter, Netizen: Bongkar Terus, Bun!

"Dalam persoalan agraria, UU Ciptaker juga telah menghilangkan ancaman pidana bagi masyarakat yang tinggal turun temurun dalam kawasan hutan dan beberapa ketentuan yang hak masyarakat adat," katanya.

Lebih lanjut, Willy mengatakan bahwa klausul ini setidaknya meminimalisir konflik agraria dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang kerap terjadi di banyak wilayah.

Selain itu, di sektor teknologi informasi, digitalisasi siaran di Tanah Air terus tertunda yang membuat penikmatan terhadap digital dividen pun ikut tertunda. Alhasil, pengembangan usaha digital dari sisi konten maupun penyelenggara siaran terhambat.

Baca Juga: Untuk Pertama Kalinya, LIMA akan Gelar Turnamen Esports Mobile Legends

"Kabar baik pun datang. UU Ciptaker telah memastikan Analog Switch Off (ASO) segera dilakukan, paling lambat dua tahun setelah UU ini diundangkan," ujar Willy.

Terkait dengan isu paling sensitif, yakni ketenagakerjaan, ia menyatakan pasal hak cuti haid, menikah, melahirkan, keguguran, misalnya, berhasil dipertahankan sesuai UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Begitu pula terkait ketentuan penggunaan tenaga kerja asing untuk melindungi tenaga kerja Indonesia.

Baca Juga: Dituding Mendanai Unjuk Rasa Penolakan UU Cipta Kerja, Demokrat akan Tempuh Jalur Hukum

Sanksi ketenagakerjaan, upah minimum padat karya, dan penyesuaian aturan tenaga alih daya pun sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menyatakan, dengan sangat menyesal, ketentuan UU Ketenagakerjaan 13/2003 berkenaan dengan jumlah pesangon tidak dapat dipertahankan.

Pemerintah meminta agar ketentuan 32 kali diubah menjadi 25 kali dan memperoleh dukungan argumentasi dari fraksi lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk upah minimum sektoral, lanjutnya, yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi saat ini dinilai menghambat investasi dan usaha.

Menurut Willy, sejak awal pembahasan UU tersebut, DPR RI mengundang bukan hanya ahli atau pakar dalam setiap proses pembahasan, melainkan beragam organisasi masyarakat sipil dengan konsentrasi advokasi yang spesifik. 

Organisasi seperti serikat pekerja, serikat profesi, dan organisasi sejenis turut dilibatkan.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah