Soal Calon Boneka di Pilkada Solo, Pengamat: Tipu Rakyat dan Ingkari Nilai Demokrasi Demi Legitimasi

30 Agustus 2020, 07:13 WIB
Paslon Bajo saat tiba di Kantor KPU Solo untuk menyerahkan berkas dukungan pada 21 Februari 2020. /RRI/

PR CIREBON - Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar nampak mengomentari fenomena baru yang muncul dalam Pilkada Solo, yakni partai politik memilih bergerombol mendukung salah satu pasangan calon yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi.

Menurutnya, praktik ini membuat muncul pilkada dengan calon tunggal. Meski memang diperbolehkan, tapi membuat masyarakat tidak punya pilihan, selain paslon yang diusung parpol melawan kotak kosong.

Bahkan, isu terbaru yang muncul belakangan ini menyebut adanya pasangan calon boneka yang berkembang setelah lolosnya paslon dari jalur perseorangan, Bagyo Wahyono dan FX Supardjo (Bajo) untuk mengikuti Pilkada Solo 2020.

Baca Juga: Cerdas Balikkan Sindiran Megawati, KAMI: Masalah Duniawi Selesai, Saatnya Selamatkan Indonesia

Sebagai informasi, pasangan calon Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa sudah mendapatkan dukungan mayoritas, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Padahal awalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berniat memunculkan satu paslon untuk melawan Gibran dan Teguh, tetapi terhalang kursi DPRD yang hanya berjumlah 5, berarti tidak cukup untuk mencalonkan jagoannya.

Sedangkan di sisi lain Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membantah partainya telah memunculkan calon boneka di Solo

"PDIP tidak pernah merencanakan adanya calon-calon boneka," tegas Hasto.

Baca Juga: Realistis dan Menenangkan Jiwa, Berikut Rekomendasi Melodrama Korea Penuh Haru dan Menggugah Emosi

Namun demikian, pada 2015 lalu sempat beredar kabar ada "barter politik" antara PDIP dan Demokrat untuk Pilkada Kota Surabaya dan Kabupaten Pacitan.

Di Surabaya, pasangan Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana nyaris tidak memiliki lawan. Sedangkan di Pacitan, petahana Indartato-Yudi Sumbogo yang merupakan jagoan Demokrat pun tak ada lawan.

Saat itu, pilkada dengan calon tunggal tidak diperbolehkan, sehingga PDIP akan memunculkan calon di Pacitan dengan timbal balik Demokrat mengusung calonnya di Surabaya.

Baca Juga: Komentari Gugatan RCTI ke Mahkamah Konstitusi, Said Didu: Bukannya Media Ikut Merusak Moral Bangsa

Imbasnya, Pilkada di dua daerah itu nyaris diundur, tetapi akhirnya tetap berlangsung. Bahkan, PDIP dan Demokrat telah membantah adanya "barter politik" itu.

Untuk itu, Idil Akbar mengatakan calon boneka itu hanya kamuflase untuk keterpilihan kandidat tertentu, sehingga jelas tidak baik untuk jalannya politik Indonesia.

"Kalau seperti itu, lebih baik tidak ada sama sekali. Biarkan saja berjalan normatif, lawan kotak kosong dan masyarakat yang menentukan. Jika ada calon boneka, itu sama saja menipu masyarakat," ucapnya.

Baca Juga: Tayang Malam ini, Berikut Alasan Kenapa Drakor 'Missing: The Other Side' Layak untuk Diantisipasi

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Brawijaya, Anang Sujoko menyebut calon boneka merupakan bentuk permainan dan pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi.

Artinya, ini hanya akan mengelabui publik karena seolah-olah menang dalam persaingan, padahal itu hanya untuk memunculkan legitimasi.

"Tentu saja, (jika) parpol yang memunculkan calon boneka adalah yang punya uang besar. Bukan hanya untuk proses pencalonan dan kampanye calon boneka, tetapi juga harus membayari si boneka," pungkas Anang.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Warta Ekonomi

Tags

Terkini

Terpopuler