PR CIREBON - Anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus mengaku prihatin dengan adanya prediksi sejumlah calon tunggal di 31 daerah berpotensi melawan kotak kosong pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020.
Keprihatinan tersebut menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
"Ini menurut saya merupakan preseden buruk dalam rangka pendidikan politik dan pendidikan demokrasi," kata Guspardi dalam keterangannya di Jakarta, Senin, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara.
Baca Juga: Psikologis Konsumen hingga PHK, Berikut Alasan Klaim Obat Covid-19 Marak Terjadi di Indonesia
Ia menilai, pilkada merupakan kompetisi mengenai visi dan misi antarcalon kepala daerah, sehingga banyaknya calon tunggal menyebabkan tidak terwujudnya substansi pilkada.
Hal tersebut dikarenakan yang dihadapi bakal calon merupakan kotak, tidak memiliki otak, dan visi misi. Padahal, Indonesia memiliki penduduk terbesar keempat di dunia.
Menurut Guspardi, adanya kemungkinan calon tunggal di daerah 31 daerah tersebut membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokasi tersebut telah mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan.
Baca Juga: Babak Baru Ledakan Dahsyat Beirut, Banyak Pejabat Pemerintah Mengundurkan Diri dari Jabatannya
"Dan itu juga sebagai pertanda demokrasi itu tidak sehat. Karena itu perlu ada terobosan yang dilakukan melalui undang-undang yang berkaitan pilkada atau pemilu," ujarnya.
Guspardi menilai fenomena calon tunggal yang melaju sendiri alias menghadapi kotak kosong di pilkada menambah daftar metode culas yang berdampak buruk bagi demokrasi tersebut.
Karena itu Guspardi mendesak agar cara seperti itu tidak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik, karena kalah dan menang tidak bisa dijadikan esensi utama dalam pilkada.
Baca Juga: Raih Popularitas Global Tak Terduga, TREASURE Ungkap Kebahagiaan dan Terimakasih pada Penggemar
Namun menurut dia, menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta pendidikan politik masyarakat yang baik adalah esensi yang sebenarnya.
Hal tersebut bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
"Banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat, turunkan ambang batas pencalonan untuk pilkada itu salah satu cara, syarat 5-10 persen kursi sudah cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan," ujarnya.***