PR CIREBON - KRI Nanggala 402 merupakan kapal selam Indonesia yang hilang kontak pada 21 April 2021 lalu di perairan Laut Bali.
Peristiwa KRI Nanggala 402 hilang kontak terjadi pada saat para personel sebanyak 53 orang sedang latihan torpedo.
Pemerintah Indonesia segera melakukan operasi pencarian KRI Nanggala 402 yang dibantu negara-negara lain.
Namun, KRI Nanggala 402 dinyatakan tenggelam, setelah ditemukannya puing-puing kapal pada empat hari kemudian.
Sehingga para personel KRI Nanggala 402 dinyatakan dalam patroli abadi.
Dilansir Pikiran Rakyat-Cirebon.com dari artikel yang diterbitkan The Conversation pada 21 Mei 2021, Dosen Jurusan Hubungan Internasional Binus University Tangguh Chairil menuliskan analisisnya terkait pembelajaran dari peristiwa KRI Nanggala 402.
"Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan berbagai pelajaran dalam perencanaan pertahanan masa depan," tulis Tangguh Chairil.
Tangguh Chairil menjelaskan bahwa KRI Nanggala 402 adalah salah satu dari dua kapal selam kelas Cakra milik Indonesia, yang dikembangkan oleh perusahaan pembuat kapal Jerman, Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW), pada 1977.
TNI Angkatan Laut mengoperasikan kapal selam tersebut sejak 1981, maka kapal selam tersebut telah beroperasi selama 40 tahun.
Baca Juga: Ahmadinejad Kembali Mencalonkan Diri sebagai Presiden Iran, Apa Tanggapan Israel?
Tangguh Chairil berpendapat, pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan berbagai pelajaran secara aktif dalam perencanaan pertahanan masa depan.
Hal itu, untuk mengurangi kemungkinan serta mempersiapkan antisipasi kecelakaan pada masa depan.
Berikut dua pelajaran utama terhadap peristiwa tenggelam KRI Nanggala 402 yang dituliskan oleh Dosen Hubungan Internasional Tangguh Chairil:
1. Bersiap untuk yang terburuk
Sejak 2015, terdapat 18 kecelakaan alutsista Indonesia yang melibatkan lima pesawat, lima helikopter, enam kapal perang, satu artileri, dan satu kendaraan tempur.
Kecelakaan tersebut tidak hanya memakan korban militer, terlebih juga terhadap 86 nyawa warga sipil.
Sementara itu, pada 2020, Indonesia telah mengalami tiga kecelakaan alutsista.
Pertama, pada 6 Juni 2020, helikopter Mi-17 TNI-AD jatuh saat pelatihan di Kendal, Jawa Tengah, menewaskan empat prajurit.
Kedua, pada sepuluh hari kemudian, pesawat tempur Hawk Mk 209 TNI-AU jatuh di dekat Kampar, Riau.
Ketiga, pada bulan berikutnya, tepatnya 14 Juli, kapal perang KRI Teluk Jakarta-541 TNI-AL tenggelam di dekat Pulau Kangean, Jawa Timur.
"Kecelakaan alutsista terlalu sering terjadi di Indonesia sehingga kita harus menganggap resiko kecelakaan sebagai kepastian mutlak," papar Chairil.
Selain itu, Chairil menambahkan bahwa pemerintah Indonesia harus bersiap untuk skema pencarian dan penyelamatan alutsista dan personel bila kecelakaan terjadi.
Chairil menuliskan bahwa pemerintah Indonesia perlu memiliki kapal penyelamat kapal selam dan kendaraan penyelamat kapal selam atau deep-submergence rescue vehicles (DSRV).
Kemudian, adanya peningkatan kemampuan perang anti kapal selam pada kapal perang dan pesawat militer, yang dapat digunakan untuk menemukan dan melacak kapal selam yang hilang.
"Indonesia saat ini tidak memiliki kapal penyelamat kapal selam maupun DSRV," tutur Chairil.
Terdapat beberapa negara di Asia Tenggara yang memiliki kapal penyelamat kapal selam, yaitu Malaysia dan Singapura.
Baca Juga: Ramalan Horoskop Cinta, 25 Mei 2021: Mimpi Buruk Bagi Aries, hingga Hal Negatif Gemini akan Terlihat
Dua negara tetangga Indonesia itu, mengerahkan kapal mereka yaitu MV Mega Bakti dan MV Swift Rescue, untuk membantu pencarian Nanggala pada beberapa waktu silam.
Selain itu, menurut Chairil, pesawat patroli maritim Indonesia juga memiliki kemampuan antikapal selam yang terbatas.
Hal ini, merupakan masalah yang masih perlu diselesaikan oleh TNI-AL.
Kemudian, Penerbangan Angkatan Laut (Penerbal) juga tidak memiliki skuadron anti kapal selam sebelum memperoleh helikopter AS565MBe Panther untuk Skuadron Udara 100 pada 2015.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan teknologi terkini dalam pencarian dan penyelamatan kapal selam untuk mempersiapkan kejadian terburuk pada masa depan.
2. Pengadaan alutsista yang menyeluruh
Menurut Chairil, pengadaan alutsista Indonesia hanya mempertimbangkan pembelian dan bukan keseluruhan umur alutsista tersebut.
Baca Juga: Renault-Nissan dan Hyundai di India Harus Tutup Karena Pekerja Ketakutan Tertular Covid-19!
Hal tersebut menurutnya harus dihentikan, karena kepemilikan alat pertahanan harus mencakup elemen pendukung selama penggunaan alutsista tersebut (in-life support), hingga melakukan proses setelah alutsista tidak bisa digunakan lagi.
Chairil menjelaskan bahwa In-life atau in-service support adalah semua dukungan terkait operasional alutsista yang memastikan alat tersebut dapat diandalkan untuk misi dan pelatihan.
Selain itu, In-life support juga memastikan alutsista memiliki masa penggunaan yang panjang.
Baca Juga: Ramalan Horoskop Cinta, 25 Mei 2021: Cancer, Leo, dan Virgo Belajarlah untuk Mencintai Apa Adanya
Kemudian, In-life support tidak terbatas pada pemeliharaan dan perbaikan alutsista. Hal ini juga termasuk layanan logistik dan dukungan peralatan.
"Pabrikan alutsista biasanya menyediakan layanan ini, tapi itu juga dapat dikontrakkan ke perusahaan lain," ucap Chairil.
"Dalam kasus Nanggala, masa operasional 40 tahun tampak sangat lama. Tapi, jangka waktu ini tidak akan menjadi masalah jika kapal selam menerima in-life support yang baik," tambah Chairil.
Baca Juga: Rafathar Ajak Raffi Ahmad Bermain Banana Boat Bersama, Rafathar: Sayang Enggak sih Pah?
Selanjutnya, Chairil menuliskan bahwa KRI Nanggala 402 menjalani perombakan terakhir oleh Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME) Korea Selatan pada 2009-2012.
Menurut TNI-AL, sejak saat itu kapal selam tersebut rutin menjalani perawatan tingkat menengah oleh Komando Utama (Kotama) TNI-AL.
"Sejauh mana tingkat pemeliharaan itu sudah mencukupi tetap perlu diaudit," ujar Dosen HI Binus University tersebut.
Baca Juga: Bermain Banana Boat bersama Rafathar, Raffi Ahmad: Kalau Gini Aja Bilang Sayang!
Sementara itu, kapal selam yang satu kelas dengan Nanggala, KRI Cakra-401, telah menjalani perombakan oleh perusahaan pembuat kapal Indonesia, PT PAL, sejak 2018.
Diketahui, Sejak 2007, PT PAL kini mampu melakukan perombakan kapal selam setelah pembangunan fasilitas produksi kapal selam di galangan kapal milik sendiri di Surabaya, Jawa Timur.
"Semoga Indonesia dapat memberikan perawatan yang lebih baik untuk kapal selamnya pada masa mendatang," pungkas Chairil.***
Disclaimer: Artikel ini sebelumnya telah terbit di The Conversation pada 21 Mei 2021 dengan judul: Pelajaran untuk pemerintah Indonesia dari “patroli abadi” kapal selam KRI Nanggala-402.