Kurban vs Jengkol

- 12 Juli 2022, 08:26 WIB
Idul Adha 2022: Warga Riung Kuntul Cihideung Kota Tasikmalaya Sembelih 3 Ekor Sapi dan 1 Domba menjadikan Idul kurban Lebih Bermakna
Idul Adha 2022: Warga Riung Kuntul Cihideung Kota Tasikmalaya Sembelih 3 Ekor Sapi dan 1 Domba menjadikan Idul kurban Lebih Bermakna /Literasi News/BU

Oleh: Budhiana *)

LEWAT jam 11 siang matahari sudah tinggi. Proses penyembelihan hewan kurban di Kampung Waas berhenti sejenak. Belasan petani yang jeda bertani hari itu, menjadi sukarelawan panitia kurban Odesa.

Mereka diberi seragam, bekerja hanya diupah daging, dipimpin Toha Odik. Yang membuat saya kagum, mereka bekerja tidak banyak cakap, tidak saling tunjuk. Hanya suara golok dan kampak yang beradu dengan telenan karena memotong tulang.

Istri dan anak perempuan Toha dan beberapa ibu di dusun sibuk di dapur menyiapkan makanan. Tungku menyala, harum nasi menyelinap, wangi daging juga membuat semua orang lapar.
Beberapa menit sebelum dhuhur, istri dan anak Toha mengeluarkan nasi dan berbagai olahan daging.

Baca Juga: BBM Non Subsidi Dinaikan Pertamina, Pertalite Makin Langka, Miris Motor Butut Itu Akhirnya Isi Pertamax Turbo

"Taruang huelaaaa....!"

Saking seriusnya mereka bekerja, ajakan makan itu seperti tak mampu menghentikan mereka.
Akhirnya saya yang duluan makan. Saya mengambil nasi dan daging. Disusul adik-adik mahasiswa fasilitator Odesa yang sejak beberapa hari sebelumny sibuk rapat sampai malam mengatur pelaksanaan kurban di berbagai dusun.

Barulah belasan petani kemudian menyerbu hidangan itu. Luar biasa, dagingnya banyak, dan nasinya di piring menggunung, seperti gunung Krakatau. Gunungan karbohidrat! What a carboberg!

Makanan itu enak, tapi saya merasa ada yang kurang.

"Ceu...mana jengkolna!?"

Baca Juga: Surat Protes PSSI di Piala AFF U19 Sudah Diketahui AFC dan FIFA, Berikut Isinya

Para petani yang sedang makan itu tertawa, juga istri mang Toha.
"Di dieu mah jengkol unggal dinten pak! Daging mah teu sidikna sataun sakali pas Iduladha!"

Saya ikut tertawa.

Sebagai orang kota, kita mampu makan daging tiap hari. Protein setiap hari, tiga kali, ada di meja. Padahal kita di kota tak punya kandang sapi, ayam atau kolam ikan.

Tapi di desa, tiap rumah mungkin ada kandang kambing. Tiap dusun ada kandang sapi, ada kandang ayam, tiap halaman ada kolam ikan. Protein ada di samping rumah.

Baca Juga: Tembak Menembak Polisi yang Menewaskan Brigadir J, Masih Meninggalkan Tabir

Tapi mereka mengonsumsi hewan ternak pada saat Iduladha, sunatan atau ada kawinan. Pendek kata, daging atau protein adalah makanan festival.

Secara antropologi, pria itu pemburu protein. Perempuan penyedia karbohidrat. Man protein, women carbs.

Dulu lelaki berburu ke tengah rimba raya. Kegagahan lelaki dinilai dari sebanyak apa dia bisa memburu hewan. Perempuan bertanam umbi, talas, dan makanan karbohidrat lain.

Baca Juga: Kok Berani ya..Almarhum Brigadir J Melakukan Pelecehan pada Istri Kadiv Propam Polri

Sekarang lelaki desa bukan lagi man of protein. Hutan sudah hilang. Hewan ternak di halamannya adalah titipan orang kota. Perempuan sedikit banyak masih menyediakan carbo. Padahal "perkawinan" protein dan karbo itu penting bagi pembentukan hidup.

Iduladha kemarin menyentil perasaan saya. Betapa banyak nikmat orang kota. Betapa sulit orang desa.

Bagaimana agar daging tidak lagi hanya jadi makanan festival.?Bagaimana agar gunungan protein juga bisa ada tiap hari di meja makan mereka, berdampingan dengan gunungan karbo mereka?***

*) Wartawan Senior di Bandung

Editor: Otang Fharyana

Sumber: Tulisan Opini


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah