PR CIREBON — Munculnya krisis kemanusiaan di sebuah negara yang diakibatkan bencana, konflik peperangan, atau adanya gejolak politik perebutan kekuasaan rezim, sering menimbulkan banyaknya pengungsi ke luar negaranya untuk mencari perlindungan.
Sebuah hasil survei yang dilakukan Bloomberg, dilansir Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari Al Jazeera, Selasa 25 Mei 2021, melaporkan di tahun 2020, lebih banyak orang yang mengungsi karena iklim ekstrem daripada konflik.
Pada akhir tahun 2020, tercatat 55 juta orang terpaksa pindah dari negaranya atau menjadi pengungsi akibat peristiwa cuaca ekstrem.
Baca Juga: Utusan Khusus Amerika Serikat Kunjungi Arab Saudi untuk Bahas Gencatan Senjata di Yaman
Jumlah pengungsi baru yang terpaksa pindah di negara mereka sendiri akibat bencana iklim naik ke level tertinggi dalam setidaknya satu dekade pada tahun 2020.
Jumlah tersebut menunjukan lebih dari tiga kali lipat pengungsi akibat konflik dan kekerasan.
Orang yang bermigrasi ke dalam negeri karena peristiwa cuaca ekstrem naik menjadi 30,7 juta, atau 75 persen dari mereka yang tercerabut di dalam perbatasan wilayahnya.
Hal itu menurut laporan Pusat Pemantauan Pemindahan Internal.
Serta, total 55 juta orang terpaksa pindah pada akhir tahun 2020 lalu.
Jumlah migran iklim cenderung diremehkan secara signifikan karena data yang tidak lengkap.
Perubahan iklim menyebabkan kejadian cuaca yang lebih sering dan intens.
Bertentangan dengan ketakutan akan migrasi lintas batas massal, banyak pengungsian berskala kecil dan terlokalisasi, menurut laporan tersebut.
Adapun kerugian yang timbul secara ekonomi mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau setara 294 miliar Rupiah secara global pada tahun 2020.
Baca Juga: Rusia Tawarkan Kerjasama di Bidang Tenaga Nuklir dan Reaktor Berkapasitas Kecil pada Arab Saudi
Diketahui di tahun 2020, negara-negara padat penduduk seperti China, India, Filipina, dan Bangladesh dilanda topan hebat, hujan monsun, dan banjir.
Sementara 1,7 juta orang mengungsi di Amerika Serikat selama musim badai Atlantik paling aktif yang tercatat.
Jumlah tertinggi sepanjang masa ini tercatat bahkan ketika penyebaran Covid-19 menghambat kemampuan organisasi kemanusiaan untuk mendaftar dan membantu orang-orang terlantar, dalam laporan Bloomberg tersebut.***