TAK dijelaskan kapan tanggal dan bulannya, tetapi muncul pendapat sejarah yang mengejutkan. Ada pendapat menyebut bahwa Kelenteng Jamblang atau dikenal dengan sebutan Hok Kek Cheng Sin di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, didirikan pada malam ketika Masjid Agung Sang Ciptarasa di Kompleks Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, juga dibangun.
Waktunya tidak dijelaskan secara rinci kapan, tetapi bukti sejarah itu lantas diperkuat adanya tiang penyangga Kelenteng Jamblang dari kayu jati yang sedianya akan dijadikan salah satu pilar di masjid yang dibangun Sunan Kalijaga atas perintah Kanjeng Sunan Gunung Djati pada abad ke-15 atau tahun 1480 kalender masehi.
Adalah seorang tokoh China di abad itu yang bernama Njoo Kit Tjit, salah satu pengawal Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Tionghoa. Dia memohon izin meminta satu pilar kayu jati kepada Sunan Gunung Djati yang semula akan dijadikan tiang Masjid Agung. Kayu itu akan menjadi salah satu tiang penyangga utama kelenteng yang hendak didirikannya di daerah Jamblang.
Atas seizin Sunan Gunung Djati, kayu jati itu lantas dibawa ke Jamblang. Dikisahkan, Sunan Kalijaga selaku arsitek yang ditunjuk Sunan Gunung Djati, sempat kebingungan karena salah satu kayu jati yang sudah dipersiapkan untuk tiang penyangga masjid hilang.
Namun, setelah memperoleh penjelasan, Sunan Kalijaga akhirnya turut mengizinkan. Tidak kehilangan akal, meski kayu jatinya berkurang satu, berkat kecerdasan dan pengetahuan arsitekturalnya, Sunan Kalijaga menggantikan kayu jati itu dengan berbagai potongan kayu yang diikat sebagai pengganti.
”Itu menjelaskan kenapa di Masjid Agung Sang Ciptarasa ada yang namanya saka tatal. Saka itu campuran dari berbagai potongan kayu yang dijadikan saka masjid sebagai pengganti kayu jati untuk Kelenteng Jamblang. Dalam sejarahnya, pembangunan Kelenteng Jamblang itu sama, berbarengan dengan malam ketika Sunan Kalijaga membangun Masjid Agung Sang Ciptarasa,” tutur Filolog Cirebon Dr Oppan Raffan Hasyim.
Tak ada penjelasan rinci tanggal dan bulan tepatnya kedua bangunan itu didirikan. Catatan sejarah hanya menyebut tahun pembangunannya yakni 1480 Masehi.
Akulturasi
Fakta sejarah itu diungkap Oppan untuk menunjukkan bahwa percampuran kebudayaan di wilayah pantai utara (pantura) Jawa umumnya, khususnya Cirebon, sudah memiliki riwayat yang sangat panjang. Hal ini diperkuat pendapat budayawan setempat, Nurdin M Noer yang menyebutkan, identitas kebudayaan Cirebon ialah pada percampuran atau pembauran dari berbagai kebudayaan, baik lokal maupun yang mondial (global).
”Caruban akar katanya dari campuran. Cirebon merupakan melting pot (kuali peleburan), titik temu dan titik campur berbagai ragam kebudayaan. Tik hanya lokal seperti Jawa dan Sunda, tetapi juga kebudayaan global, Tiongkok, Arab, India, atau bahkan Eropa setelah memasuki era kolonial,” tutur Nurdin.
Pada pertemuan itu terjadi peleburan kebudayaan, ada proses asimilasi dan akulturasi pada dinamika kebudayaannya. Saling menerima dan memberi, memengaruhi, dipengaruhi, dan terpengaruhi. Menjadi manusia Cirebon, orang bisa dengan cara mempertahankan identitas kultural nenek moyangnya (asmilasi), menjadi manusia Cirebon pula, orang bisa menanggalkan budaya lama nenek moyangnya, lalu beradaptasi dengan budaya baru yang dipilihnya (akulturasi).
”Sesungguhnya, yang disebut budaya nenek moyangnya yang asli juga tidak ada. Semua telah berbaur. Cirebon ini ciri masyarakatnya ialah hibrida, campuran, multikultur yang memiliki sejarah sangat panjang. Ini memengaruhi pola budaya, cara berpikir, dan bersikap dari masyarakatnya,” ujar Nurdin yang menulis buku Menusa Cerbon ini.
Simbol besar
Oppan mengatakan, tidak hanya relasi sejarah antara saka tatal di Masjid Agung Sang Ciptarasa dengan Kelenteng Hok Kek Cheng Sin Jamblang, tapi ada banyak simbol besar yang menunjukan asimilasi (perpaduan) dan akulturasi (percampuran) budaya itu.
Di kompleks permakaman Kanjeng Sunan Gunung Djati di Gunung Sembung, Kecamatan Gunung Jati, bisa terlihat dari peziarahnya. Yang datang, tak hanya beragama Islam, tetapi juga dari berbagai agama.
Dalam sejarahnya, adalah keliru jika mengartikan orang Tionghoa selalu dengan lekat Konfusianisme, Tao, atau melulu persoalan ekonomi. Kontribusi mereka dalam penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa juga sangat besar. Bahkan, kedatangan Laksamana Cheng Ho yang membawa ratusan armada kapal ke pantura Jawa, termasuk ke Cirebon, itu tidak hanya merajut kerja sama dagang, tetapi juga ada misi penyebaran Islam.
Banyak lahir ulama besar yang dalam riwayatnya masih keturunan Tionghoa, di antaranya ialah Syekh Quro atau yang juga dikenal sebagai Jaka Tawa yang menyebarkan Islam di Karawang. Tokoh yang juga dikenal sebagai Syekh Hasanudin bin Syarif ini bahkan memiliki anak yang namanya, Tan Go Oat. Nama Tionghoa ini dipertahankan oleh Syekh Quro untuk anaknya yang dikenal sebagai Sunan Bentong.
”Kalau mau merujuk lebih jauh, Pangeran Jin Bun atau Panembahan Jimbun, dikenal dengan Raden Patah itu keturunan Tionghoa. Orang yang pertama mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, Kerajaan Demak,” tutur Oppan.
Simbol multikulturalisme Cirebon bahkan diperkuat dalam konteks relasi kekuasaan ketika itu yang dipegang Sunan Gunung Djati saat merintis Kesultanan Cirebon. Lambang Kerajaan Islam Cirebon itu berupa Paksi Naga Liman. Paksi berarti burung sebagai lambang pengaruh Islam (Arab); naga adalah ular naga sebagai pengaruh Tiongkok; dan liman atau gajah sebagai pengaruh India (Hindu-Buddha).
Kebinekaan
Saat ini, isu perbedaan budaya banyak diperuncing pihak tertentu untuk kepentingan sesaat. Sultan Sepuh XIV Keraton Kesepuhan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat mengatakan bahwa perbedaan justru memberi warna pada negeri ini.
”Allah menciptakan manusia dengan berbagai suku dan bangsa agar kita saling mengenal satu sama lain,” katanya.
Sebagai ulama dan umara, pendiri Kesultanan Cirebon ratusan tahun yang lalu, Sunan Gunung Djati, menerapkan betul ayat itu serta ayat Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Kesadaran akan Cirebon yang dibangun dari berbagai macam ras, agama dan budaya, mewujud dalam berbagai kreasi seni budaya peninggalan Sunan Gunung Djati dan keturunannya.
”Peninggalan terbesarnya berupa arsitektur Keraton Kesepuhan yang merupakan perpaduan berbagai budaya, Islam, Tionghoa, Hindu/Buddha, bahkan Eropa,” katanya.
Juru Bicara Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (Pasti) Cirebon Halim Eka Wadah mengatakan bahwa gejala intoleransi saat ini lebih karena faktor teknologi, pola pikir, serta wawasan masyarakat yang kurang.
Bahkan, Halim yang menikah dengan salah seorang putri tokoh masyarakat Muslim di Kabupaten Kuningan itu mengaku tak terlalu merasakan perbedaan perlakuan.
”Kalau di jagat media sosial memang menimbulkan kecemasan bagi kami. Namun, di dunia nyata kami tak terlalu merasakannya.”
Kepada anak-anak dan teman-temannya, Halim selalu menularkan prinsipnya untuk tidak takut mengungkapkan jati diri sebagai warga keturunan Tionghoa.
”Berbohong menyembunyikan jati diri juga salah. Upaya yang harus kita lakukan ya melalui edukasi kepada masyarakat akan nilai-nilai keberagaman, terutama agama Islam yang jelas ada ayat yang menjelaskan soal keberagaman,” ungkap Halim yang pernah menjadi sekretaris dewan kemakmuran masjid di lingkungan tempat tinggalnya.
Menurut filolog Raffan S Hasyim, fakta sejarah, berdasarkan naskah yang ada, Islam justru pertama kali dibawa masuk ke Jawa Barat oleh orang Tiongkok. Laksamana Cheng Ho lah yang pertama kali menyebarkan Islam di Jawa Barat melalui dua mubalig penyebar agama Islam Syekh Quro dan Syekh Nurjati yang ikut dalam ekspedisi itu. ***