Pemanfaatan Media Sosial Sebagai Media Baru Kampanye Dinilai Masih Sangat Lemah

- 7 November 2020, 11:51 WIB
Ilustrasi Media Sosial/Sumber: Pixabay
Ilustrasi Media Sosial/Sumber: Pixabay /



PR CIREBON - Tingginya persentase pengguna media daring di Jawa Barat menurut data Pilkada serentak Gubernur pada tahun 2018, menembus 32 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Hal ini, semestinya mampu dimanfaatkan oleh para Pasangan Calon (Paslon) dengan maksimal untuk menarik minat pemilih, dengan penyampaian visi misi, serta mempromosikan diri sekreatif mungkin.

Pasalnya, perhelatan pesta demokrasi lima tahunan ini bertepatan dengan adanya wabah pandemi Covid-19 di Indonesia, sehingga hal ini memberikan warna lain dan tantangan baru yang harus dihadapi oleh seluruh kontestan di berbagai daerah.

Baca Juga: Bikin Haru, Biden Muliakan Nabi Muhammad dalam Orasinya

Hal itu diungkapkan oleh Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Komputer (UNIKOM) Bandung, Adiyana Slamet pada Jumat, 6 November 2020.

“Tingginya masyarakat Jabar yang aktif di media sosial bisa menjadi acuan bahwa media sosial bisa dimanfaatkan untuk memberikan informasi politik pada segmentasi pemilih pemula dan generasi millenial,”tutur Adiyana, seperti dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI.

“Dan diyakini segmentasi tersebut sebagai lumbung pendulang suara besar, terlebih di dalamnya banyak generasi milenial yang aktif terlibat, pasalnya segmentasi tersebut bisa menjadi penentu terakhir, seberapa besar Visi Misi Paslon diterima dan dipahami masyarakat,” lanjutnya.

Baca Juga: Bahaya Mendengkur saat Tidur Jadi Ciri Gangguan Pernapasan, Ini Penjelasan Dokter Paru Indonesia

Akan tetapi, sangat disayangkan, media sosial yang seharusnya menjadi arena kampanye sehat seringkali disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab, yang justru memanfaatkannya untuk menjatuhkan salah satu pesaing mereka dengan menebar informasi hoaks atau isu-isu politik identitas.

“Bukannya justru menjadi tempat yang sehat dalam beradu gagasan justru media daring sering digunakan untuk menjatuhkan lawan politik dengan memanfaatkan isu-isu seperti, SARA, Hoaks dan Black Campaign,” katanya.

Lanjutnya, tak jarang juga ditemukan adanya Buying Voters, karena kurang pemanfaatan media baru untuk merebut hati pemilih pada segmentasi tertentu.

Baca Juga: Bak Detektif Selidiki Keaslian Video Syur Mirip Gisel Viral, Netizen Cari Perbedaan Ruangan Hotel

Ia pun menuturkan, meskipun sudah ada regulasi yang mengatur tentang hal tersebut, baik UU ITE hingga aturan di PKPU. Namun, masih cukup lemah jika tidak diimbangi dengan kesadaran Tim Paslon dalam berkompetisi.

“Walaupun sudah ada UU ITE, Regulasi PKPU. Tapi masalah pengawasan di media baru tersebut,  terlebih Cyber Security masih lemah,”katanya.

Sehingga, sangat diperlukan adanya kedewasaan dari Tim Paslon, yang paham betul bahwa esensi pilkada bukan hanya tentang mencari suara terbanyak, melainkan membuka, mendewasakan, serta mengedukasi masyarakat akan politik yang baik dan benar.

Baca Juga: WhatsApp Luncurkan Fitur Transfer Uang guna Memudahkan Transaksi di Tengah Pandemi Covid-19

“Jangan sampai citra politik ini berbuah menjadi kebohongan politik dalam kontestasi demokrasi elektoral, karena aktor politiknya hanya mementingkan pembangunan citra semata tanpa mempunyai ide dan gagasan yang akan dijual kepada pemilih secara rasional," pungkasnya.***

Editor: Egi Septiadi

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x