Polemik Obat Covid-19 Unair Buat UI Siap Gugat, Diduga Tak Sesuai Prosedur dan Tanpa Kerjasama

- 17 Agustus 2020, 12:30 WIB
Obat Covid 19 yang ditemukan peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur.
Obat Covid 19 yang ditemukan peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur. /- Foto: Dokumen: Pribadi/unair.ac.id

PR CIREBON - Meski kombinasi obat Covid-19 buatan Universitas Airlangga (Unair) mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia, tetapi Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menentang itu dengan tegas, bahkan bersiap untuk menggugat.

Pasalnya, Pandu menilai hal yang paling penting dari sebuah riset adalah prosedurnya, seperti Unair yang memilih bekerja sama dengan Badan Intelejen Negara (BIN) dan TNI hingga membuat obat Covid-19 buatannya sudah tak memenuhi syarat prosedural.

Bahkan, Pandu menyebut obat itu tidak layak terdaftar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga ia pun siap menggugat jika BPOM menerimanya.

Baca Juga: Bank Indonesia Pamer Uang Rupiah Spesial HUT RI ke-75, Siap Rilis Jadi Puncak Kemerdekaan

"Yang paling penting adalah prosesnya, apakah diikuti nggak standar prosedurnya. Itu yang paling penting. Makanya, saya berani bilang, jangan percaya. Karena itu berdasarkan kaidah standar, kalau itu udah dilanggar sama mereka, jangan dipercaya. Apalagi sampai didaftarkan oleh Badan POM, dan Badan POM menerima, saya gugat," ungkap Pandu saat dihubungi SINDOnews, seperti dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Warta Ekonomi pada Minggu, 16 Agustus 2020.

Lebih lanjut, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini menjelaskan, semua penelitian yang bersifat nasional apakah itu obat atau vaksin, harus di-review oleh Komite Etik Balitbangkes, lengkap dengan memonitor setiap proses penelitian tersebut.

Artinya, Obat Covid-19 Unair itu makin jelas memperlihatkan tidak sesuai standar prosedur yang seharusnya.

Baca Juga: Google Doodle Rayakan HUT RI ke-75, Tunjukkan Ragam Budaya dan Simbol Kemerdekaan Indonesia

"Saya menggugatnya bukan ke TNI atau BIN, tapi ke akademis Unairnya, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan. Mereka tahu itu, tidak ada jalan pintas untuk pengembangan ilmu," jelas Pandu.

Lebih dari itu, Pandu pun merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang membuat Clinical International Trial yang memiliki multi center study terkait obat-obatan yang semuanya mengikuti prosedur.

Di Indonesia pun, Balitbangkes berperan sebagai motornya, maka seharusnya semua patuh terhadap regulasi karena hasilnya nanti digunakan masyarakat.

Baca Juga: Sikap Sempurna Seluruh Rakyat Indonesia, Hormati Penaikan Sang Merah Putih

"Buat apa mengobati kalau tidak ada manfaatnya. Seperti Hydrochloroquine, hasil studi dunia di beberapa negara sudah mengomunikasikan bahwa tidak ada manfaatnya. Di Amerika sudah dicabut sebagai obat untuk pengobatan Covid, di Indonesia belum dicabut. Apakah masih mau diberikan Covidkarena ada efek sampingnya yang sampai meninggal. Di daerah ada kematian, dia meninggal karena ada obat yang tidak perlu diberikan," papar Pandu.

Atas sebab itu semua, Pandu mempertanyakan kenapa Unair memilih bekerja sama dengan BIN dan TNI tanpa melibatkan lembaga penelitian lainnya, padahal itu berfungsi agar ada saling koreksi dan justru bekerja sama dengan BIN dan TNI.

Baca Juga: Obat Covid-19 Pertama Dunia Ada di Indonesia, MUI: Gembirakan RI Beri Manfaat Kesehatan

"Kok Unair tidak kerja sama dengan lembaga penelitian lain dan malah kerja sama dengan lembaga militer. Unpad Bandung misalnya, Unpad juga kuat kok clinical trial-nya, kerja sama akademik itu diperlukan untuk saling koreksi," pungkas Pandu.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Warta Ekonomi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x