'Playing Victim' di Balik Status Tersangka Ade Armando

- 24 Mei 2022, 16:43 WIB
Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno. /instagram.com/@eddy_soeparno./Berita diy pikiran-rakyat.com
Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno. /instagram.com/@eddy_soeparno./Berita diy pikiran-rakyat.com /

Oleh : Imam Wahyudi *)

"PLAYING Victim", sebut saja "PV". Bukan judul film. Bukan pula varian seri "Play Station". "PV" adalah mereka yang (selalu) mengindentifikasi diri tentang satu hal. Menempatkan sebagai korban dan berkeyakinan, bahwa orang lainlah penyebab kesengsaraan yang dialaminya.

Celakanya, tutur laman "Healthline" -- si pelaku "PV" tak bertanggungjawab atas kesalahannya. Perkara "PV" itu cukup sebagai bacaan terhadap sepakterjang pengacara Ade Armando. Rekayasa langit, telah meriwayarkan tragedi di depan gerbang Gedung Parlemen. Lepas siang, 11 April 2022 -- berubah tak terduga, menjadi Senin kelabu. Bagi Ade Armando. Kadung babak belur di depan massa aksi demo.

Hari Senin yang mengingatkan lagu "I Don't Like Monday". Lirik yang ditulis trio Geldof, dinyanyikan The Boomtown Rats. Andai Ade Armando suka bait-bait tembang lawas itu, mungkin saja urung ke lokasi aksi. Dia berdalih memantau aksi. Serupa sambil unjuk arogansi. Kapan lagi. Yakin bakal "baik-baik saja". Apa boleh buat, terjebak "psiko massa". Tak terduga, bogem mentah mendarat di wajah dan sekujur tubuh. Ade pun rubuh. Nyaris ditelanjangi. Begitu terasa mempermalukan dirinya. Bantuan polisi nyaris terlambat. Memagari dari akibat lebih jauh. Evakuasi tersendat massa, sebelum dirujuk ke rumah sakit. Langsung ruang ICU. Setingkat layanan kedaruratan UGD.

Baca Juga: Mitsubishi Mampu Jual 10.003 Unit pada Bulan April 2022, Xpander Rajai Penjualan

Perlu "review" tragedi Ade Armando itu. Sejatinya pun tak perlu. Memang tak ada korelasi langsung dengan bahasan. Cuma saja, pengacara Muannas Alaidin mencoba mengaitkan konten twitter Eddy Soeparno -- yang berlanjut laporan polisi (LP). Tragedi "Senin Kelabu" itu jelas sebagai akibat Ade Armando sendiri. Sekali lagi, akibat prilaku diri sendiri. Mau diruntut dari pangkal mana pun, begitulah adanya. Akibat arogansi diri. Tak ada terkait sosok Eddy Soeparno. Tak juga dalam kapasitas anggota DPR RI dan Sekjen DPP PAN. Betapa pun, posisi dan jabatan itu melekat.

***

PIHAK Ade Armando bukannya lebih dulu fokus pada pemulihan. Mendadak unjuk terusik konten medsos milik Eddy Soeparno. Tak surut arogansi "sok kebal hukum", seolah menemukan titian untuk lanjut bunyi. Teriak lantang, seperti sebelum ini. Menepikan tragedi aksi. Menyembunyikan rasa malu. Seolah mengalihkan perhatian. Lantas, menghardik Eddy. Menekan somasi hingga polisi.

Sempat reda jelang lebaran. Senin kemarin, pengacara itu bunyi lagi. Bunyi tak presisi. Menempel kedatangan Eddy ke kantor polisi. Padahal, memang ada agenda terkait LP 25 April lalu. Pemeriksaan sebagai saksi pelopor. Sebatas menjalankan kewajiban sebagai warga negara yang baik. Dalam berperkara hukum. Standar banget dan begitu tahapannya. Mekanisme dan prosedural. Lantas, mengapa pengacara Muannas bagai kebakaran jenggot?! Koar-koar di laman twitter. Membuat "counter opini" yang miskin literasi. Menyerang Eddy. Bahkan melebar, di luar konteks. Mungkin saja ingin memainkan jurus "mabok". Tampak kehabisan bahan bakar substantif perkara.

Baca Juga: Kontribusi Atlet Kota Bandung di SEA Games 2021 dan Dikepret Walikota

Dalam perkara hukum, saudara sekandung sekali pun harus diabaikan. Bila tak ada keterkaitan perkara. Setiap insan usia dewasa dijamin hak dan kewajibannya secara perseorangan. Tak terkait aspek tanggungjawab dan sifat pembinaan. Tak relevan mengait-ngaitkan. Apalagi ingin mencampuradukkan. Tak ada korelasi dengan berita acara dan beracara. Tak bijak juga, meladeni seseorang dalam posisi mabok. Tapi tak patut pula dimaklumi. Sekurangnya, cuma ingin mengatakan -- seolah dia sudah kehilangan akal. Ya, akal sehat -- kontekstual perkara (baca: hukum).

***

RASANYA perlu prihatin membaca pernyataan Muannas. Tentu, dalam kapasitasnya sebagai pengacara. "Dia (baca: Eddy Soeparno) yang nuduh Ade Armando penista agama, kok bisa dia yang laporkan saya merasa dicemarkan nama baik." Dalam kesempatan pertama, menyiratkan rasa khawatir dirinya. Mirip ketakutan menjadi bumerang. Berbalik menikam diri sendiri. Penulis tak berpretensi lebih jauh: bui.

Baca Juga: Berkunjung ke Indonesia, Mesut Ozil: Aku Sedang dalam Perjalanan....

Makin tampak unjuk parno, ketika Muannas menyebut: "saya paham hukum dan tak ada delik apa pun yang dilakukan." Moga jadi indikasi kesadaran dari sikap ofensif beraroma provokatif sebelumnya. Bahwa perlu "kesantunan" beropini, tanpa menghakimi. Apalagi, saat tak terjangkau reputasi. Jauh dari bagan "apple to apple". Entahlah, bila berbalut teori "pansos". Panjat sosial. Jomplang, Om Muannas.

Alih-alih menyoal status tersangka Ade Armando. Sepanjang lima tahun terakhir. Tak cukup bobot untuk alih perhatian. Status hukum yang mengisi "catatan harian" publik. Justru, potensial mendistorsi reputasi polisi. Dalam penegakkan hukum. Semua warga setara di muka hukum. "Equality before the law". Sulit rasanya untuk berkelit. Lain halnya, bila tak peduli akan status tersangka. Publik yakin, polisi siap beraksi.***

*) Penulis, wartawan senior di Bandung

Editor: Otang Fharyana

Sumber: Tulisan opini Imam Wahtudi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x